REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi Micel, menjadi sarjana bukan sekadar pencapaian akademik. Mahasiswi Program Studi Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) ini menjadi lulusan pertama di keluarganya, meraih IPK 3,94, dan berdiri di podium wisuda ke-67 UKRIDA bukan hanya dengan toga, tetapi dengan kisah perjuangan yang sarat makna.
Di kampus ini ia menemukan ruang yang aman untuk tumbuh, bukan hanya sebagai mahasiswa, melainkan sebagai manusia. Di antara ruang kelas, diskusi kelompok, seminar, dan kegiatan organisasi, ia belajar bahwa ilmu bukan hanya soal angka.
"Saya belajar bahwa ilmu bukan hanya soal angka tau konsep, tetapi juga soal keberanian untuk menyampaikan gagasan, soal empati, soal menjadi diri sendiri tanpa harus takut dihakimi,” ujar Micel saat diwawancara usai wisuda.
Kisah Micel menjadi satu dari sekian potret "Pendidikan Berdampak" — tema besar yang diusung UKRIDA pada wisuda tahun ini yang meluluskan 319 lulusan, terdiri dari 252 sarjana dan 67 magister.
Acara yang berlangsung di Pullman Ballroom Central Park, Jakarta, itu bertepatan dengan semangat peringatan Hari Pendidikan Nasional, menjadikan momen wisuda terasa lebih dari sekadar seremoni akademik.
Rektor UKRIDA, Prof Herman Parung menegaskan bahwa para lulusan harus menjadi agen perubahan dalam menghadapi era Society 5.0 yang ditandai dengan tantangan global dan disrupsi teknologi, termasuk kecerdasan buatan.
“Lulusan hari ini tidak hanya dituntut untuk pintar, tetapi juga adaptif, kreatif, dan berdampak,” ucap dia.
Pernyataan itu diamini oleh Plt Kepala LLDIKTI Wilayah III Jakarta, Tri Munanto, yang memuji kontribusi nyata UKRIDA, termasuk keberadaan rumah sakit sendiri yang memperluas dampak sosial kampus.
Ia juga memperkenalkan program “Diktisaintek Berdampak” dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang mendorong setiap perguruan tinggi untuk hadir nyata di tengah komunitasnya.
Namun, dampak tak selalu berbentuk infrastruktur besar. Ia bisa muncul dari semangat sepasang lulusan Magister Manajemen, dr. Stephanie Angeline dan Pdt. Markus Hadinata, yang telah melayani umatnya selama lebih dari satu dekade.
Dengan IPK masing-masing 3,94 dan 3,83, mereka membuktikan bahwa pendidikan bisa dijalani sejajar dengan peran sebagai tenaga kesehatan, pemuka agama, hingga orang tua.
“UKRIDA memberikan ruang bagi kami yang sibuk, dengan kurikulum yang fleksibel dan relevan,” ujar dr. Stephanie. Sementara Markus menambahkan, “UKRIDA tak hanya mengajar pengetahuan, tapi menanamkan nilai-nilai Kristiani seperti etika, ketekunan, dan integritas.”
Ketua Umum Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen Krida Wacana, Oki Widjaja, menambahkan bahwa UKRIDA tengah bersiap menyongsong masa depan dengan membangun Laboratorium AI lintas disiplin. Namun, dia menegaskan bahwa AI tidak akan menggantikan manusia.
BACA JUGA: Serangan Pahalgam, Membongkar Mesin Propaganda India terhadap Muslim
"AI tidak akan menggantikan manusia atau pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Tetapi orang yang handal mempergunakan AI merupakan orang-orang yang akan menggantikan berbagai pekerjaan yang tidak menggunakan AI," jelas dia.
Ke depan, UKRIDA juga memperkuat jejaringnya dengan lebih dari 180 mitra, termasuk institusi luar negeri, dunia usaha, dan pemerintah daerah, untuk menciptakan sinergi pendidikan yang benar-benar menyentuh kehidupan.
Dari kisah para wisudawan, hingga komitmen institusional terhadap inovasi dan kolaborasi, UKRIDA menegaskan bahwa pendidikan berdampak bukan slogan kosong. Ia hidup dalam ruang kuliah, laboratorium, ruang praktik, dan di dalam hati para lulusannya yang kini bersiap membawa perubahan—pelan tapi pasti—untuk Indonesia dan dunia.