Kamis 01 May 2025 20:00 WIB

Peringatan Hari Buruh, Sarbumusi Sampaikan 9 Tuntutan kepada Pemerintah

Dunia ketenagakerjaan di Indonesia dewasa ini hadapi tantangan serius.

Massa dari berbagai elemen buruh dan masyarakat sipil menggelar aksi memperingati Hari Buruh Internasional di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (1/5/2025).  Aksi tersebut menyoroti berbagai persoalan yang dialami kelas pekerja seperti PHK secara sepihak, upah yang rendah, pelanggaran hak-hak terhadap buruh hingga penerapan sistem kerja outsourcing. Pada peringatan Hari Buruh Internasional ini, massa yang terbagung dalam aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menuntut pemerintah untuk memberlakukan upah layak nasional, mencabut UU omnibus lawa cipta kerja, menolak sistem kerja kontrak, outsourcing, lindungi buruh perempuan dan stop pelecehan seksual serta berlakukan daycare aman dan murah.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari berbagai elemen buruh dan masyarakat sipil menggelar aksi memperingati Hari Buruh Internasional di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Aksi tersebut menyoroti berbagai persoalan yang dialami kelas pekerja seperti PHK secara sepihak, upah yang rendah, pelanggaran hak-hak terhadap buruh hingga penerapan sistem kerja outsourcing. Pada peringatan Hari Buruh Internasional ini, massa yang terbagung dalam aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menuntut pemerintah untuk memberlakukan upah layak nasional, mencabut UU omnibus lawa cipta kerja, menolak sistem kerja kontrak, outsourcing, lindungi buruh perempuan dan stop pelecehan seksual serta berlakukan daycare aman dan murah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Situasi dunia ketenagakerjaan di Indonesia dewasa ini menghadapi tantangan serius. Hal ini ditandai dengan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran. 

Presiden Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Irham Ali Saifuddin, menjelaskan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2024 sebesar 4,91 persen, menurun dibandingkan Agustus 2023 yang sebesar 5,32 persen.

Baca Juga

Namun, kata dia, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi bahwa tingkat pengangguran akan naik menjadi 5 persen pada 2025, seiring dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen.

Pada awal 2025, gelombang PHK massal menjadi sorotan utama. Lebih dari 40 ribu pekerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan pabrik dan kebangkrutan perusahaan besar seperti Sritex Group, Yamaha Music dan masih banyak lainnya.

“Sektor tekstil menjadi yang paling terdampak, dengan prediksi PHK mencapai 280 ribu pekerja dari 60 perusahaan sepanjang tahun,” ujar dia, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (1/5/2025).

Selain itu, kata dia, perusahaan lain seperti KFC dan Sanken juga melakukan PHK massal, menunjukkan adanya masalah mendasar dalam efisiensi operasional dan daya saing industri.

Hal ini, kata dia, diperparah dengan penerapan kebijakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal 2025. Situasi ketenagakerjaan global mengalami tekanan signifikan.

Irham menyebut, kebijakan ini, yang mencakup tarif hingga 32 persen terhadap produk dari negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, menyebabkan gangguan pada rantai pasokan (supply changes) global dan menurunkan permintaan ekspor dari negara-negara berkembang.

Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif sebesar 10 persen dapat memangkas pertumbuhan ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia, sebesar 0,1 persen.

Di Thailand, misalnya, Bank Sentral memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya guna meredam dampak negatif dari tarif AS terhadap pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan melambat menjadi 2,1 persen.

“Bagi Indonesia, dampak kebijakan tarif ini terasa langsung pada sektor ketenagakerjaan. Diperkirakan terdapat sekitar 50 ribu pekerja terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam tiga bulan pertama setelah penerapan tarif baru tersebut,” ujar dia.

Sektor-sektor yang paling terdampak meliputi industri tekstil, garmen, sepatu, makanan dan minuman, serta pertambangan yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat.

Sebenarnya Pemerintah Indonesia telah merespons dengan melakukan negosiasi intensif dengan pihak Amerika Serikat untuk mengurangi dampak negatif, termasuk dengan menawarkan peningkatan impor produk Amerika Serikat dan pengurangan hambatan non-tarif.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement