Senin 28 Apr 2025 20:01 WIB

Lentera Literasi: Menyalakan Harapan atau Membiarkan Redup?

Memperjuangkan literasi bukan hanya soal membuka buku, tetapi membuka masa depan.

Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas Bina Sarana Informatika
Foto: UBSI
Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas Bina Sarana Informatika

Oleh: Retno Rahayuningsih, Dosen Universitas Bina Sarana Informatika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lentera literasi seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan menuju Indonesia Emas 2045. Namun, lentera ini justru dapat menyoroti betapa gelapnya realitas yang kita hadapi terkait minat baca rendah, hoaks merajalela, dan budaya literasi yang sering kali hanya menjadi jargon semata.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan apakah kita sedang menyalakan lentera menuju masa depan emas atau justru menonton cahaya itu meredup, menuntun kita ke Indonesia yang cemas?

Kemerdekaan Indonesia ke 100 tahun akan diwujudkan melalui visi besar Indonesia untuk menjadi negara maju dengan menumbuhkan generasi emas.

Dalam masyarakat maju, literasi merupakan pilar utama untuk membangun generasi yang kritis dan siap menghadapi tantangan karena literasi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis juga kemampuan untuk berpikir kritis dan memahami keseluruhan informasi yang didapatkan.

Realitas saat ini untuk membangun generasi emas muncul berbagai tantangan, utamanya datang dari rendahnya minat membaca.

Berdasarkan data Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Perpusnas 2023, skor nasional hanya mencapai 58,17 dari 100. ini menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari gaya hidup.

Rendahnya akses terhadap bahan bacaan bermutu, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), menjadi penyebab utamanya.

Bahkan, UNESCO pernah mencatat minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah—hanya 0,001, artinya dari 1.000 orang, hanya 1 yang gemar membaca secara aktif.

Hasil observasi yang saya lakukan dalam berbagai kegiatan di sekolah penggerak, menggambarkan budaya literasi di sekolah masih bersifat formalitas. Kegiatan seperti membaca 15 menit sebelum pelajaran jarang disertai pendampingan untuk mengembangkan pemahaman kritis.

Kondisi ini diperburuk oleh pertumbuhan rimba informasi digital yang pesat tetapi tidak diiringi dengan pertumbuhan kemampuan literasi digital.

Lentera literasi di rimba digital

Di tengah derasnya arus informasi yang mengalir tanpa henti di era digital, literasi digital bagaikan lentera di tengah rimba yang gelap. menjadi penunjuk arah agar masyarakat tidak tersesat dalam belantara data dan distraksi.

Literasi digital hari ini tidak lagi hanya soal kemampuan mengoperasikan perangkat elektronik, melainkan merupakan kemampuan esensial untuk menyeleksi, menganalisis, serta merespons informasi secara kritis dan etis.

Generasi muda kini tumbuh dan berkembang dalam ekosistem digital yang sarat informasi: dari portal berita, media sosial, hingga konten hiburan yang terus bermunculan dalam hitungan detik. Namun, luasnya akses terhadap informasi tidak sebanding dengan kualitas pemahaman yang dimiliki.

Banyak remaja dan pemuda yang belum dibekali keterampilan literasi digital yang memadai, sehingga kesulitan dalam membedakan antara fakta, opini, atau bahkan informasi palsu yang terselubung.

Laporan dari We Are Social dan Hootsuite menyebutkan masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 8 jam per hari di internet. Sayangnya, banyak waktu tersebut digunakan untuk mengonsumsi konten tanpa filter, bukan untuk mengembangkan pengetahuan atau berpikir kritis.

Kondisi ini menyebabkan mereka mudah terjebak dalam ilusi digital, di mana informasi yang dikonsumsi secara pasif justru menciptakan keresahan, bukan pencerahan.

Salah satu fenomena yang mencolok di tengah rendahnya literasi digital adalah “Fear of Missing Out” (FOMO), yaitu ketakutan berlebihan akan ketinggalan tren atau informasi terbaru.

Dalam berbagai diskusi dengan beberapa mahasiswa banyak dari mereka merasa tertekan untuk selalu mengikuti perkembangan media sosial, yang pada akhirnya menimbulkan kecemasan, stres, dan perasaan tidak aman secara psikologis.

Hal ini diperparah dengan kurangnya kesadaran bahwa tidak semua hal yang viral adalah penting atau benar.

Dalam konteks inilah, lentera literasi harus hadir sebagai cahaya penuntun di tengah rimba digital yang penuh jebakan informasi. Lentera ini bukan hanya simbol pencerahan intelektual, tetapi juga perlambang harapan untuk membangun generasi yang tahan terhadap manipulasi informasi, kuat secara mental, dan bijak dalam bermedia.

Tanpa lentera ini, generasi muda akan mudah tersesat, menjadi korban algoritma, dan kehilangan arah dalam membangun jati diri serta masa depannya.

Maka dari itu, tantangan utama bangsa ini adalah membumikan literasi digital sebagai bagian dari budaya belajar dan kehidupan sehari-hari. Peran pendidikan, keluarga, dan komunitas menjadi kunci utama.

Diperlukan kurikulum literasi digital sejak dini, pelatihan berpikir kritis, serta ruang diskusi yang sehat untuk membekali generasi muda dalam menghadapi dunia digital yang kompleks dan penuh tantangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement