Rabu 23 Apr 2025 21:42 WIB

KemenPPPA Tangani 38 Kasus Kekerasan Anak Sepanjang Januari-Maret 2025

Pemerintah berkomitmen cegah kekerasan anak.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Menteri PPPA Arifah Fauzi.
Foto: Rizky Suryarandika
Menteri PPPA Arifah Fauzi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah menangani 38 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang Januari hingga Maret 2025.

Dalam triwulan pertama, sebanyak 26 kasus telah memasuki tahap penegakan hukum dan 23 kasus berada dalam proses pemulihan psikososial bagi korban. KemenPPPA juga terus memantau beberapa kasus lain yang ditangani oleh UPTD PPA di berbagai daerah.

Baca Juga

"Beberapa kasus yang mencuat di masyarakat telah ditangani secara komprehensif," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi dalam keterangan pers pada Rabu (23/4/2025).

Arifah mencontohkan kasus siswa SD di Medan yang dihukum gurunya karena belum mengambil rapor menjadi salah satu atensi KemenPPPA. Dalam kasus ini, KemenPPPA bersama pemerintah daerah, anggota DPR, dan berbagai pihak melakukan asesmen sosial dan psikologis.

"Kami memberikan dukungan lanjutan hingga anak tersebut kembali bersekolah," ujar Arifah.

Kemudian kasus pengeroyokan oleh empat anak di Tasikmalaya mendapat pendampingan intensif dari KemenPPPA. Kemen PPPA juga menangani kasus kekerasan seksual terhadap balita di Balikpapan dengan pendekatan lintas lembaga.

"Selain memastikan visum dan pendampingan psikologis, KemenPPPA turut menghadirkan tim psikolog forensik," ujar Arifah.

Arifah menyatakan dalam setiap penanganan kasus, pihaknya bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan beberapa stake holders lainnya.

"Kasus kekerasan terhadap anak yang kami tangani mayoritas adalah kekerasan seksual dan fisik, termasuk terhadap anak yang berkonflik dengan hukum serta anak berkebutuhan khusus," kata Arifah.

KemenPPPA bergerak cepat melalui koordinasi intensif dengan Dinas PPPA dan UPTD PPA setempat, serta menjalin kolaborasi lintas sektor bersama aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), rumah sakit, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dinas Sosial, serta para psikolog forensik.

"Pendampingan terhadap anak korban dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pemeriksaan psikologis, proses hukum, penyediaan bantuan spesifik dan tempat tinggal sementara, hingga pelaksanaan kegiatan psikososial dan sosialisasi perlindungan anak di sekolah," ujar Arifah.

Untuk setiap kasus viral, Arifah menyatakan pihaknya berusaha keras segera merespon keresahan publik atas stigma “No Viral, No Justice”, atau “Jika Tak Viral, Tak Ada Keadilan” dengan memperluas jangkauan dan akses layanan pengaduan SAPA129. Harapannya, masyarakat dapat dengan mudah melaporkan setiap tindakan kekerasan yang dilihat atau dialami, tanpa harus menunggu kasus tersebut menjadi viral terlebih dahulu.

“Kami tidak ingin keadilan hanya hadir bagi mereka yang kasusnya viral. Setiap anak yang menjadi korban berhak mendapatkan perlindungan, tanpa syarat, tanpa harus viral terlebih dahulu dan memang negara wajib hadir dan melindungi,” ucap Arifah.

Arifah juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang telah berani melaporkan dan memviralkan kasus kekerasan terhadap anak. Menurutnya, setiap laporan adalah suara korban yang harus didengarkan dan ditindaklanjuti.

"Ini adalah bentuk kepedulian nyata yang membantu kami untuk bisa hadir dan bertindak cepat. Masyarakat bukan hanya saksi, tapi juga mitra penting dalam perlindungan anak,” ujar Arifah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement