REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Publik digegerkan dengan suap senilai Rp 60 miliar yang diterima hakim dan pengacara. Pemberi suap adalah korporasi yang divonis lepas dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Operasi tangkap tangan (OTT) Kejagung terhadap hakim dan pengacara itu pun menimbulkan kekagetan di publik. Peristiwa itu menjadi bukti, hukum bukan lagi barang mewah melainkan barang murah yang diperjual belikan pengacara dan hakim yang tak bermoral.
Koordinator Aksi 'Mafia Hakim', Dendi Budiman, mendesak agar para hakim dan pengacara yang terlibat suap seluruh asetnya disita alias dimiskinkan. Dendi yang turun ke jalan hal tersebut bisa memberikan efek jera pelaku.
"Sita seluruh aset hasil suap dan harta gaya hidup mewah para tersangka! Rakyat muak melihat flexing dari uang haram di media sosial!" kata Dendi dalam salah satu tuntutannya saat aksi di belakang Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025).
Empat hakim yang menjadi tersangka, yakni mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) Arif Nuryanta. Lalu, tiga majelis hakim yang menangani perkara tersebut, Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.
Tersangka lainnya, panitera muda PN Jakarta Utara (Jakut) Wahyu Gunawan, yang ketika sidang korupsi CPO merupakan panitera di PN Jakpus, Marcella Santoso dan Ariyanto sebagai kuasa hukum dari korporasi yang berperkara, serta Kepala Tim Hukum Wilmar Group yang juga ditetapkan tersangka.
Dendi menyesalkan, karena hakim dan pengacara yang semestinya menjadi tonggak dalam menegakkan keadilan justru menjadi pemain dalam mengatur putusan vonis dalam kasus yang saat ini sedang ditangani oleh Kejagung.
"Kasus dugaan suap Rp 60 miliar dalam vonis lepas ekspor CPO bukan sekadar kriminal, itu mengangkangi hukum dan mengkhianati rakyat," ujarnya.