REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini mengumumkan kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariffs atau tarif resiprokal yang lebih tinggi bagi puluhan negara. Banyak yang menilai kebijakan ini kontroversial.
Apa itu Tarif Resiprokal?
Kebijakan tarif resiprokal merupakan keputusan pengenaan tarif balik oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) kepada negara-negara yang mengekspor barang ke wilayah AS. Kebijakan ini menetapkan bahwa seluruh negara akan dikenai tarif minimal sebesar 10 persen di masa mendatang. Tarif yang lebih tinggi diberlakukan bagi negara-negara yang dianggap memiliki hambatan signifikan terhadap produk asal Amerika Serikat.
Pakar Kebijakan Publik FISIP UMJ Abdul Rahman mengatakan pertimbangan utama dari diterapkannya kebijakan tarif resiprokal ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi AS secara progresif. Penerapannya diharapkan dapat memicu perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara-negara yang terkena tarif resiprokal seperti China, Meksiko, Kanada, dan lainnya untuk memindahkan basis produksi mereka ke Amerika Serikat.
“Efeknya adalah lapangan kerja di AS akan semakin luas, sehingga meningkatkan tingkat pekerjaan penduduk, menambah pendapatan negara dari pajak korporasi dan tenaga kerja, serta memangkas defisit neraca perdagangan AS dengan negara lain secara signifikan,” kata dia.
Dengan ketiga dampak tersebut, Trump meyakini bahwa kebijakan ini akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi AS, sejalan dengan visinya: “Make America Great Again.”