Oleh Mareanus Lase, Dosen Teknologi Informasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren judi online di kalangan mahasiswa semakin mengkhawatirkan. Bermula dari anggapan “cuma seribu, dua ribu” dan “sekadar iseng”, banyak mahasiswa justru terjerat ke dalam sistem perjudian digital tanpa benar-benar menyadarinya.
Fenomena ini kian masif sejak masa pascapandemi, di mana aktivitas hiburan dan interaksi sosial bergeser ke platform daring.
Perkembangan teknologi yang pesat, khususnya selama pandemi COVID-19, membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun di sisi lain, juga membuka celah masuknya praktik perjudian terselubung melalui aplikasi gim dan media sosial.
Iklan-iklan dengan iming-iming hadiah besar kerap muncul di platform populer seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga situs streaming.
Berbeda dari bentuk perjudian konvensional, banyak aplikasi judi online tampil menyerupai gim biasa, dengan visual yang menarik dan tampilan yang “ramah anak muda”.
Tanpa disadari, pengguna—termasuk mahasiswa—terlibat dalam mekanisme spin, deposit, dan cash out, yang pada dasarnya merupakan sistem perjudian.
Menurut Mareanus Lase, Dosen Teknologi Informasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI), mahasiswa menjadi salah satu kelompok paling rentan terhadap paparan judi online. Beberapa faktor yang memengaruhi antara lain tekanan ekonomi, keinginan mencari penghasilan tambahan, serta rendahnya literasi digital.
“Mereka pikir ini cuma hiburan digital. Padahal sistemnya sama persis seperti judi. Bahkan lebih mudah diakses karena cukup lewat ponsel,” ujar Mareanus.
Dampak dari keterlibatan dalam judi online tidak bisa dianggap sepele. Berdasarkan temuan sejumlah studi dan laporan media, aktivitas ini berpotensi menimbulkan kecanduan, masalah keuangan, stres, depresi, hingga penurunan prestasi akademik.
Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya terjerat pinjaman online, bahkan terlibat dalam tindakan melanggar hukum demi mempertahankan kebiasaan berjudi.
Sejumlah komunitas mahasiswa dan organisasi kampus kini mulai aktif menyuarakan gerakan perlawanan terhadap judi online.
Langkah-langkah preventif seperti penyuluhan literasi digital, konseling psikologis, serta pelatihan kewirausahaan menjadi upaya alternatif untuk mengalihkan perhatian generasi muda ke aktivitas yang lebih produktif.
Fenomena judi online bukan sekadar persoalan hukum, melainkan sudah menyentuh aspek sosial dan masa depan generasi muda. Penting bagi mahasiswa meningkatkan kewaspadaan terhadap aplikasi yang mengandung unsur taruhan, sekalipun dikemas dalam bentuk gim.
Jika sebuah permainan meminta pengguna menyetor uang dengan janji bisa menang besar, maka itu bukan sekadar hiburan, melainkan potensi jebakan. Kesadaran dan langkah preventif menjadi kunci untuk mencegah generasi digital terjerumus lebih jauh.