REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan tarif Presiden Amerika Donald Trump memicu banyak reaksi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyoroti tekanan eksternal yang berasal dari meningkatnya tensi geopolitik global, proteksionisme dagang AS, hingga pengetatan kebijakan moneter oleh sejumlah negara maju.
Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS menjadi pemicu tambahan yang dapat mengganggu stabilitas perdagangan dunia.
Pasca penyampaian kebijakan tarif resiprokal tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang, hingga terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global.
Sebagai bentuk respons, Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis diantaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis.
Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA).
Pemerintah juga akan melakukan Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN sektor teknologi informasi dari AS, serta evaluasi pelarangan dan pembatasan barang ekspor impor.
Di samping itu, Pemerintah juga akan melakukan penyeimbangan terhadap neraca perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agrikultur dari AS seperti kedelai, pembelian peralatan mesin, LPG, LNG, dan migas oleh Pertamina.
Langkah selanjutnya, Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal atau non-fiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan bahwa beberapa produk ekspor unggulan Indonesia seperti pakaian dan alas kaki yang memiliki berpeluang besar melakukan penetrasi pasar.
Sebab, Indonesja memiliki tarif lebih rendah dari beberapa negara peers seperti Vietnam (46 persen), Banglades (37 persen), dan Kamboja (49 persen).
Selain itu, Indonesia juga dinilai memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk menyeimbangkan Neraca Perdagangan dengan AS melalui peningkatan impor barang dari AS.
"Dengan surplus yang kecil dan ketergantungan yang rendah, Indonesia berada dalam posisi yang lebih aman dan strategis untuk memperkuat kerja sama dagang dengan AS," ucap Airlangga.
Ke depan, berbagai kebijakan jangka menengah juga telah disiapkan Pemerintah mulai dari penciptaan lapangan kerja melalui penguatan industri padat karya, optimalisasi DHE SDA (devisa hasil ekspor sumber daya alam) dan implementasi kegiatan usaha bank emas, hingga membuka peluang pasar di 83 persen dalam perdagangan global.