REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengatakan bahwa kliennya tidak memiliki kesalahan apa pun untuk disangkakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016. Tom Lembong hari ini menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan.
"Terdapat beberapa fakta yuridis yang menjadi poin penting betapa Tom Lembong tidak memiliki kesalahan apa pun," kata Ari Yusuf kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Ia mengungkapkan beberapa fakta yuridis dalam kasus tersebut, yakni Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara kliennya sebab yang didakwakan merupakan perkara pangan yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Kemudian, lanjut Ari, perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus itu telah diuraikan secara nyata dan pasti, namun unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terdapat cukup bukti.
"Maka penyidik seharusnya segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," jelasnya.
Selain itu, Ari berpendapat dari surat dakwaan penuntut umum, diketahui berbagai pihak yang melakukan pembayaran, baik kepada pajak dan/atau PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PPI (Persero), bukan merupakan kliennya, melainkan dilakukan antara sembilan perusahaan swasta selaku penjual gula dan sebagai wajib pajak. Dalam menyusun surat dakwaan, Ari menyampaikan penuntut umum menggunakan laporan audit BPKP, padahal faktanya kegiatan importasi gula di Kemendag tahun 2015–2016 telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan kesimpulan tidak terdapat kerugian keuangan negara.
Ari berpendapat surat dakwaan terhadap kliennya juga tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, antara lain karena seluruh perbuatan Tom Lembong yang diuraikan seluruhnya merupakan bentuk tindakan administratif serta tidak menguraikan peristiwa mengenai harga beli gula kristal putih. Berangkat dari berbagai fakta hukum tersebut, lanjut dia, maka secara terang benderang membuktikan bahwa dakwaan penuntut umum terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi importasi gula sama tidak berdasar.
"Kasus ini merupakan bentuk rekayasa hukum yang dituduhkan kepada Tom Lembong karena perbedaan haluan politik. Oleh karena itu, pengadilan harus segera membebaskan Tom Lembong serta memulihkan statusnya sebagai warga negara yang merdeka dan dilindungi hukum," ujar Ari menegaskan.
Dalam kasus tersebut, Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar. Antara lain karena menerbitkan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada para pihak itu diduga diberikan untuk mengimpor gula kristal mentah guna diolah menjadi gula kristal putih, padahal Tom Lembong mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan gula rafinasi.
Tom Lembong juga disebutkan tidak menunjuk perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan menunjuk Induk Koperasi Kartika (Imkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri.
Atas perbuatannya, Tom Lembong terancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.