Sabtu 11 Jan 2025 12:04 WIB

Dituduh Buat Pagar Laut, Masyarakat Setempat tak Terima

Pihak Agung Sedayu menuding masyarakat yang membangun 'pagar laut'.

Rep: Eva Rianti/Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Foto udara pagar laut terlihat di perairan Kampung Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (10/1/2024).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Foto udara pagar laut terlihat di perairan Kampung Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (10/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Sejumlah pihak menuding warga dan nelayan sendiri yang membangun pagar laut di perairan Tangerang. Warga menolak klaim yang mereka nilai tak masuk akal itu.

Di antara yang melayangkan dugaan itu adalah pihak pengembang PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG). “Berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid kepada Republika, Sabtu (11/1/2025). 

Baca Juga

Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang mereka ketahui, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut. 

“Karena sebenarnya yang kami tahu itu merupakan tanggul laut yang terbuat dari bambu yang biasanya difungsikan untuk pemecah ombak, dan akan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekat tanggul laut tersebut, atau digunakan untuk membendung sampah seperti yang ada di Muara Angke. Atau bisa jadi sebagai pembatas lahan warga pesisir yang kebetulan tanahnya terkena abrasi,” ungkapnya.

Muannas menyampaikan itulah beberapa kemungkinan yang terjadi, bahwa pemagaran laut berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat sekitar.  “Itu adalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dan diinisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami tahu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” ia menegaskan.

Dalih dari Agung Sedayu itu disangkal semua nelayan dan warga yang ditemui Republika di Tanjung Pasir dan Kronjo. “Ya dipikir saja, Mas. Masak nelayan mau bikin susah diri sendiri,” kata Adi, seorang nelayan di Tanjung Pasir. "Itu fitnah kejam," ia menegaskan.

Ia menuturkan, keberadaan pagar-pagar laut itu membuat susah semua nelayan. Mereka harus membeli solar lebih banyak untuk memutari pagar, misalnya. Selain itu, pagar-pagar laut juga dibangun di wilayah penjaringan ikan di tepian. Ini membuat nelayan penjaring kesulitan.

Di wilayah pemagaran yang dikunjungi Republika di Tanjung Pasir maupun di Kronjo, terlihat jelas perbedaan konstruksi pagar-pagar itu dengan bagan-bagan pemancingan maupun pembiakan kerang yang dibangun nelayan-nelayan. 

Sementara konstruksi pagar laut, seragam dari Tanjung Pasir sampai ke Kronjo. Bagian luar pagar dibuat dengan susunan bambu, paranet, dan anyaman bambu. Karung-karung berwarna putih juga diletakkan di pagar utama di semua wilayah. Bahan-bahan dan konstruksi yang seragam itu mengindikasikan pagar laut dibangun pihak yang sama berpuluh-puluh kilometer.

Dulrasid, seorang nelayan dari Kronjo mengatakan pengerjaan pagar yang demikian masif tak mungkin bisa didanai masyarakat semata. Menurut dia, bambu-bambu yang diturunkan di Kronjo untuk membuat pagar laut pada akhir tahun lalu juga jumlahnya sangat banyak. “Warga di sini mana punya duit buat bikin macam begitu? Itu kalau panjang begitu kan miliaran,” ujar Dulrasid di pelelangan ikan Kronjo.

Sedangkan di Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, jangan kata berinisiatif membuat pagar bambu, warga setempat bahkan tak boleh ikut mengerjakan. Seorang warga tempatan menuturkan, sempat ada sebagian anak muda yang ingin ikut membangun karena tergiur bayaran yang diceritakan para pekerja dari luar. “Tapi nggak boleh. Katanya harus punya truk dan perahu sama minimal sepuluh orang. Ya jadi warga di sini gigit jari saja,” kata warga yang berjualan di dekat lokasi pekerja pagar bambu berangkat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement