Kamis 02 Jan 2025 19:12 WIB

MK Hapus Ambang Batas Capres-Cawapres, Akademisi: Pemerintah dan DPR Harus Patuh!

MK mengabulkan permohonan menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Rep: Bayu Adji Prihammanda/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Menurut dia, keputusan itu sudah sepatutnya dirayakan oleh masyarakat Indonesia.

Ia menilai, tidak ada pihak yang akan dirugikan dengan putusan MK. Pasalnya, setiap partai politik peserta pemilu akan dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa adanya ambang batas, yang selama ini menjadi penghambat. Di sisi lain, pemilih akan mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif.

Baca Juga

"Anak-anak Indonesia jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka untuk direalisasikan saat ini melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (2/1/2025).

Karena itu, menurut dia, mulai saat ini partai politik harus mulai menyiapkan kader-kader terbaiknya sebagai calon-calon potensial untuk Pemilihan Presiden (Pilplres) 2029. Namun, partai politik harus bisa memastikan terlebih dahulu agar dapat lolos menjadi perserta Pemilu 2029.

Titi juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR, serta semua partai politik untuk menghormati putusan ini. Pasalnya, putusan MK itu akan membuat kehidupan demokrasi di Indonesia lebih adil, setara, dan inklusif.

"Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersebut," ujar dia.

Titi menambahkan, sebenarnya tidak ada argumentasi hukum yang baru dalam putusan MK tersebut. Hanya saja, MK mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, sehingga MK menyatakan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. Hal itu mempertimbangkan banyaknya pengujian pasal ambang batas pencalonan presiden yang diajukan ke MK, yaitu sampai 33 pengujian lebih.

"Lalu kecenderungan adanya upaya membatasi jumlah calon yang mengakibatkan terbatasnya pilihan bagi pemilih dan berakibat terjadi polarasisasi di tengah-tengah masyarakat, maka MK menganggap hal itu sebagai open legal policy yang bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan mengandung ketidakadilan yang intolerable," kata dia.

photo
Akhir Rezim Presidential Threshold - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement