Ahad 08 Dec 2024 17:55 WIB

Rezim Baath Berakhir dan Presiden Assad Kabur, Menlu Rusia Kecam AS

Menlu Lavrov mengkritik tindakan kelompok HTS yang merebut wilayah-wilayah Suriah.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia, Sergey Lavrov.
Foto: EPA-EFE/EVGENIA NOVOZHENINA
Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia, Sergey Lavrov.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Suriah. Hal itu disampaikan Lavrov dalam pertemuan dengan Menlu Turki Hakan Fidan dan Menlu Iran Abbas Araghchi di sela Doha Forum, Qatar pada Sabtu (7/12/2024).

Pertemuan ketiganya berlangsung, beberapa jam sebelum jatuhnya rezim Baath di Suriah, setelah Damaskus diambilalih oleh pasukan antirezim Bashar al-Assad. "Kami dengan tegas menegaskan kembali integritas teritorial, kedaulatan, dan persatuan Republik Arab Suriah. Kami menyerukan diakhirinya segera kegiatan permusuhan," kata Lavrov dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia.

Baca Juga

Peristiwa jatuhnya Damaskus dan kepergian Presiden Bashar al-Assad yang keberadaannya belum diketahui, mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Baath di Suriah. Lavrov pun meminta pertanggungjawaban Amerika Serikat (AS) atas berbagai peristiwa yang sedang berlangsung di Timur Tengah, dan menuduh Washington berusaha memperkuat pengaruhnya di kawasan tersebut.

AS diketahui mendukung gerakan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang merupakan oposisi rezim Assad. "Kami benar-benar yakin bahwa penggunaan teroris seperti Hayat Tahrir al-Sham untuk mencapai tujuan geopolitik tidak dapat diterima, seperti yang dilakukan sekarang dengan pengorganisasian serangan ini dari wilayah deeskalasi Idlib," kata Lavrov dilaporkan Anadolu.

Selain itu, Lavrov mengkritik tindakan kelompok HTS yang merebut wilayah-wilayah Suriah dengan melanggar perjanjian yang ada, khususnya Resolusi 2254. Dia menegaskan tindakan salah satu penggerak utama oposisi di Suriah itu tidak dapat diterima.

"Jika kita berbicara tentang Hayat Tahrir al-Sham secara khusus, pada 2018 dan 2020 dalam kerangka Format Astana, dua perjanjian ditandatangani yang dengan jelas memperkuat tekad bersama untuk tidak membiarkan Hayat Tahrir al-Sham berkuasa di Idlib. Dan perjanjian ini belum dilaksanakan. Dan sekarang perjanjian tersebut dilanggar secara besar-besaran," kata orang kepercayaan Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut.

Baca: Imbas Darurat Militer, Mantan Menhan Korsel Ditahan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement