Rabu 04 Dec 2024 08:55 WIB

Kelamnya Sejarah Darurat Militer Korea Selatan

Darurat militer yang sempat diterapkan Presiden Yoon memantik kenangan pahit.

Pasukan rezim darurat militer Korea Selatan menangkap aktivis prodemokrasi di Gwangju, Korea Selatan, pada 27 Mei 1980. Ratusan dilaporkan tewas dalam upaya menekan pemberontakan itu.
Foto: AP Photo/Sadayuki Mikami, File
Pasukan rezim darurat militer Korea Selatan menangkap aktivis prodemokrasi di Gwangju, Korea Selatan, pada 27 Mei 1980. Ratusan dilaporkan tewas dalam upaya menekan pemberontakan itu.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Selasa malam, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengejutkan negaranya dan dunia dengan upayanya menerapkan darurat militer. Upaya ini membuka lagi kenangan kelam soal kediktatoran di Korea Selatan di masa lalu.

Deklarasi darurat militer yang dikeluarkan oleh Presiden Yoon – dengan dalih ancaman komunis yang tidak jelas – memiliki kesamaan dengan periode pemerintahan diktator sayap kanan sebelumnya di Korea Selatan selama Perang Dingin.

Baca Juga

Korea Selatan baru menjadi negara demokrasi pada akhir tahun 1980-an, dan intervensi militer dalam urusan sipil masih merupakan topik yang sensitif. Selama masa kediktatoran yang muncul ketika negara tersebut dibangun kembali dari kehancuran Perang Korea pada tahun 1950-1953, para pemimpin kerap mengumumkan darurat militer. Mereka menempatkan tentara tempur, tank, dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum untuk mencegah demonstrasi anti-pemerintah.

Selama periode tersebut, kekuatan militer dengan dukungan kuat dari AS memerintah Korea Selatan sebagai negara diktator dan menggunakan dalih antikomunisme untuk meredam perbedaan pendapat dari kelompok buruh dan mahasiswa yang terorganisir.

Sejak 1961, Korea Selatan dipimpin diktator Park Chung-hee. Ia menerapkan kebijakan tangan besi. Sejak 1975, misalnya, ribuan orang menjadi korban kampanye “pembersihan sosial”. Saat itu, gelandangan, pengemis, dan pedagang kaki lima dikirim ke tiga puluh enam kamp dan menjadi sasaran kerja paksa, tanpa bayaran, serta penyiksaan dan pemerkosaan berulang kali. 

photo
Demonstrasi massal mahasiswa menuntut pencabutan darurat militer dan pengunduran diri Perdana Menteri Shin Hyon-Hwack pada Mei 1980. - (AP Photo, File)

Pada tahun 1986, jumlah narapidana melonjak dalam lima tahun dari 8.600 menjadi lebih dari 16.000, menurut dokumen pemerintah. Secara resmi, 513 orang meninggal karena kelelahan di kamp-kamp ini, namun jumlahnya mungkin jauh lebih tinggi.

Setelah pembunuhan pada 1979 terhadap Presiden Park Chung-hee serangkaian gerakan pro-demokrasi muncul untuk menuntut reformasi dan hak yang lebih besar di bidang politik dan ekonomi. Namun, kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo-hwan berupaya membalikkan momentum upaya tersebut dan memicu pemberontakan di provinsi selatan Gwangju pada tahun 1980.

Wilayah tersebut ditutup dari wartawan, dan pasukan militer dikirim untuk menekan pemberontakan dan melakukan pembantaian warga sipil. Ratusan orang diperkirakan tewas atau hilang ketika pemerintah Korea Selatan dengan keras memadamkan pemberontakan Gwangju, ketika Chun menjadi pemimpin de facto negara tersebut.

Dalam kasus terkini, tuduhan Presiden Yoon soal simpatisan Korea Utara di kalangan oposisi, alasan lain yang ia sampaikan dalam keputusannya, juga menghidupkan kembali dalih darurat militer yang digunakan oleh kediktatoran militer pada pertengahan abad ke-20 dalam ketakutan yang tidak berdasar terhadap mata-mata di tubuh oposisi.

Darurat militer prematur...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement