REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemecatan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant ditengarai terkait dengan hasrat besar Perdana Menteri Netanyahu untuk terus mengobarkan perang dan menduduki seluruh wilayah di Gaza.
Hal itu juga terkait dengan skandal kebohongan di lingkaran PM Netanyahu menyusulnya kebocoran data intelijen yang telah dimanipulasi.
Dalam laporan media Israel, dokumen intelijen telah dibocorkan dan dimanipulasi. Dokumen itu merupakan salinan strategi militer Hamas yang ditemukan oleh intelijen militer Israel di Gaza. Namun ironinya, salinan tersebut kemudian 'dipalsukan' oleh tersangka orang dalam, atau dekat dari kantor perdana menteri Netanyahu dan lembaga pertahanan.
Dokumen-dokumen itu lantas dibocorkan ke surat kabar Jerman, Bild, dan Jewish Chronicle Inggris, tepat saat kesepakatan gencatan senjata potensial untuk Gaza pada September tahun ini. Gencatan senjata itu pada akhirnya gagal.
Tidak jelas bagaimana perubahan atau manipulasi pada dokumen-dokumen ini mungkin telah dilakukan. Namun dokumen-dokumen tersebut diyakini telah membuatnya tampak bahwa Hamas bermaksud menyelundupkan tawanan Israel yang ditahan di Gaza ke Mesir dan kemudian ke Iran atau Yaman. Tuduhan yang akhirnya membuat Hamas hengkang dari gencatan senjata.
Menteri Pertahanan Israel yang digulingkan, Yoav Gallant, dilaporkan mengatakan tentara Israel sejatinya telah mencapai semua tujuan di Gaza. Namun Benjamin Netanyahu menolak kesepakatan sandera untuk perdamaian yang bertentangan dengan saran dari lembaga keamanannya sendiri.
Gallant berbicara kepada keluarga sandera pada Kamis, dua hari setelah dipecat oleh Netanyahu, dan laporan tentang pernyataannya dengan cepat muncul di media Israel. "Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di Gaza. Prestasi besar telah dicapai," kata berita Channel 12 mengutipnya.
"Saya khawatir kita tinggal di sana hanya karena ada keinginan untuk berada di sana."