REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Di tengah hajatan pemilihan presiden Amerika Serikat, media turki Hurriyet Daily News mewawancarai Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, akhir pekan lalu. Hurriyet bertanya beberapa hal penting terkait situasi global terkini, seperti dampak embargo barat ke Rusia, siapa calon presiden AS pilihan negeri beruang merah itu, sampai pada situasi kemanusiaan di Gaza dan perang Ukraina.
Berikut petikan wawancaranya seperti dikutip dari kantor Kementerian Luar Negeri Rusia, Ahad (2/11/2024)
Hurriyet: Pemilihan presiden AS segera digelar bulan ini. Rusia sering menjadi perhatian utama selama kampanye. Kandidat presiden mana yang lebih diinginkan Moskow duduk di Gedung Putih: Donald Trump atau Kamala Harris?
Sergey Lavrov: Secara historis kami tidak memiliki preferensi mengenai kandidat capres mereka. Pemerintahan Trump malah memberlakukan jumlah sanksi anti-Rusia tertinggi dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Saat ini, di bawah presiden yang sekarang, Joe Bidden, kami justru melihat puncak Russophobia di AS. Kedua negara justru berada di tubir pertikaian militer secara langsung. (Lavrov tidak menggunakan kata 'war' melainkan kata 'military clash' - RED).
Terlepas dari siapa yang menang dalam pemilihan, kami tidak melihat adanya perubahan dalam sikap Russophobia di AS. Namun, kami tetap terbuka untuk dialog jika Amerika menunjukkan kesediaan yang tulus untuk terlibat dalam negosiasi yang jujur, berdasarkan saling menghormati atas kepentingan masing-masing dan berpegang pada prinsip timbal balik.
Hurriyet: Bagaimana embargo Barat terhadap Rusia memengaruhi ekonomi negara Anda?
Sergey Lavrov: Rusia telah beradaptasi dengan tekanan sanksi dan berkembang dengan baik. Dalam hal PDB berdasarkan paritas daya beli, kami malah menjadi yang keempat terbesar di dunia dan yang pertama di Eropa. Pertumbuhan ekonomi Rusia tahun ini diperkirakan sekitar 3,9 persen. Kami memiliki tingkat pengangguran terendah di antara ekonomi terbesar di dunia: 2,4 persen.
Amerika berusaha membatasi peluang mitra-mitra asing yang tertarik dengan perdagangan dengan kami. Sayangnya, Turki tidak terkecuali. Prospek kerja sama praktis kami tergantung pada apakah para pakar dapat menemukan solusi yang dapat diterima bersama dalam waktu dekat.
Hurriyet: Sudah setahun sejak serangan Israel ke Gaza dimulai, dan ketegangan di wilayah tersebut semakin meningkat akibat serangan Israel ke Lebanon. Siapa yang akan campur tangan untuk menghentikan agresi oleh pemerintah Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu? Apakah Rusia akan mengambil peran utama dalam usaha menghentikan Israel? Dalam konteks ini, sikap apa yang akan diambil Rusia jika terjadi intervensi militer potensial oleh AS dan Israel di Iran?
Sergey Lavrov: Kegagalan untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel yang berkepanjangan telah memicu gelombang kekerasan baru, yang mengakibatkan kematian puluhan ribu warga Palestina yang tidak bersalah di Gaza. Jumlah korban di Lebanon mencapai ribuan. Semakin banyak negara terlibat dalam konfrontasi yang meningkat ini.
Kami mengecam Israel karena membunuh pemimpin politik Hamas dan Hizbullah, serta pejabat militer Iran berpangkat tinggi. Kami meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberikan sanksi atas perbuatan ini, tetapi inisiatif ini diblokir dan ditolak Barat.
Kami mendesak semua pihak untuk menghindari tindakan yang dapat semakin meningkatkan aksi kekerasan dan menyebabkan situasi yang tidak terkendali. Tidak akan ada pemenang dalam konflik ini.
Cara untuk menormalkan situasi adalah dengan menghentikan pertumpahan darah dan menciptakan kondisi untuk resolusi politik konflik Palestina-Israel berdasarkan prinsip hukum internasional yang universal. Ini termasuk pendirian negara Palestina yang independen di dalam batas-batas 1967. Hanya solusi ini yang dapat menjamin perdamaian yang langgeng di Timur Tengah.
Berita ini ditulis dengan bantuan artificial intelligence dan sudah melewati tahap penyuntingan oleh redaksi.