Kamis 31 Oct 2024 16:01 WIB

Sang Presiden Indonesia di Masa Darurat

Mengapa Syafruddin Prawiranegara menolak disebut sebagai presiden?

(ilustrasi) prasasti tentang mandat presiden dan wapres RI kala itu untuk Syafruddin Prawiranegara memimpin PDRI
Foto: tangkapan layar
(ilustrasi) prasasti tentang mandat presiden dan wapres RI kala itu untuk Syafruddin Prawiranegara memimpin PDRI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 19 Desember 1948, Belanda memulai agresi atas wilayah Republik Indonesia (RI). Ibu kota RI saat itu, Yogyakarta, dapat dikuasai pasukan bermental kolonial ini. Bahkan, Sukarno, Mohammad Hatta, serta Sutan Sjahrir kemudian ditangkapnya. Mereka lalu diterbangkan ke Bangka, untuk kemudian diasingkan di Brastagi, Sumatra Utara.

Sebelum Belanda datang, Sukarno telah mengirimkan kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara. Pak Sjaf diamanahkannya agar mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Ini agar roda pemerintahan dan eksistensi Indonesia tidak redup walau sedang diserang Belanda.

Baca Juga

Di antara dentuman mortir dan bom yang dijatuhkan Belanda di Sumatra Barat, tokoh-tokoh nasional mengadakan rapat rahasia. Mereka waktu itu belum mengetahui adanya kawat dari Yogyakarta kepada Syafruddin Prawiranegara yang berisi mandat untuk menteri kemakmuran rakyat itu membentuk dan memimpin pemerintah darurat.

Maka dari itu, pembentukan pemerintah darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi saat itu semata-mata berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab kolektif mereka. Para tokoh, baik pemuka setempat maupun yang datang dari pusat semisal Syafruddin, menghendaki supaya jangan sampai ada kekosongan pemerintahan di Indonesia. Kekosongan itulah yang memang dikehendaki Belanda supaya bisa mengklaim bahwa RI sudah musnah dari muka bumi.

Penting bagi agresi militer Belanda untuk menumpas PDRI. Jatuhnya ibu kota RI kala itu, Yogyakarta, tidak cukup. Bahkan, ditangkapnya Sukarno, Hatta, dan Sjahrir juga masih kurang memastikan posisi inferior Indonesia. Ketiadaan sama sekali pemerintah Indonesia, itulah tujuan agresi militer Belanda.

PDRI dibentuk pada pukul 04.30 WIB pagi, tanggal 22 Desember 1948. Ketika menentukan siapa yang harus memimpin, timbul keraguan pada diri Syafruddin Prawiranegara.

Pasalnya, saat itu dia bukanlah yang paling tua, tetapi di antara hadirin dialah yang kebetulan memegang jabatan tertinggi di lingkup nasional, yakni selaku menteri.

Bagaimanapun, forum kemudian bersepakat bahwa Syafruddin-lah yang memimpin PDRI. Istilah yang dipakai pun adalah “ketua”, bukan “presiden”, sekalipun tanggung jawabnya sama seperti presiden sekaligus perdana menteri.

Menurut Ajip Rosidi dalam biografi tentang tokoh ini, Syafruddin Prawiranegara kala itu enggan memakai istilah "presiden." Padahal, sebutan itulah yang secara hukum harus disandangnya. Dia mengetahui, kedudukan “ketua” tidak dikenal dalam UUD Republik Indonesia.

Kelak, pada artikel tertanggal 6 Desember 1978, dia mengungkap alasan di balik itu.

“Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.”

photo
(ilustrasi) syafruddin prawiranegara - (tangkapan layar)

Jadi isu internasional

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement