Ahad 29 Sep 2024 19:13 WIB

Serangan Udara Israel di Lebanon Tewaskan 33 Orang, 195 Terluka

Hizbullah dan Israel terlibat dalam perang lintas perbatasan sejak serangan di Gaza.

Orang-orang memeriksa lokasi pembunuhan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah di pinggiran selatan Beirut, Ahad, 29 September 2024.
Foto: AP
Orang-orang memeriksa lokasi pembunuhan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah di pinggiran selatan Beirut, Ahad, 29 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Sedikitnya 33 korban tewas dan 195 orang terluka dalam serangan udara Israel di Lebanon, pada Sabtu (28/9/2024), demikian pernyataan Kementerian Kesehatan Lebanon.

Pesawat tempur Israel melanjutkan serangan udara di pinggiran selatan Beirut, dengan menargetkan Chyah, Borj al-Barajneh, dan sebagian Lylaki, serta beberapa kota di selatan.

Baca Juga

Sejak dimulainya bentrokan antara Israel dan kelompok Lebanon, Hizbullah, Oktober lalu, telah tercatat 1.640 kematian, termasuk 104 anak-anak dan 194 perempuan, serta 8.408 orang luka-luka, kata Menteri Kesehatan Lebanon Firas Alabiad.

Hizbullah dan Israel terlibat dalam perang lintas perbatasan sejak dimulainya serangan Israel di Jalur Gaza, yang telah menewaskan hampir 41.600 korban. Serangan udara besar-besaran baru-baru ini oleh Israel juga menewaskan Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah.

Sementara itu, menteri luar negeri Turki, Rusia, dan Iran, tiga negara penjamin dalam platform Astana yang dibentuk untuk meredakan ketegangan di Suriah dan membuka jalan bagi proses politik, bertemu di New York pada Jumat (27/9).

Hakan Fidan, Sergey Lavrov, dan Abbas Araghchi menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri Platform Astana di sela-sela sidang ke-79 Majelis Umum PBB. Para menteri membahas situasi keamanan, politik, dan kemanusiaan di Suriah, serta menyerukan penahanan diri agar serangan Israel di Lebanon tidak menyebabkan eskalasi kekerasan tambahan di Suriah, menurut sumber diplomatik Turki.

Pertemuan tersebut menekankan pentingnya menjaga perdamaian di lapangan, termasuk di provinsi Idlib bagian barat laut, serta perlunya mencegah upaya organisasi teroris separatis untuk memanfaatkan situasi saat ini, tambah sumber tersebut.

Mengulangi dukungan Turki terhadap kebangkitan proses politik di Suriah, Fidan menekankan pentingnya Proses Astana dalam mencapai perdamaian dan stabilitas di Suriah.

Selama pertemuan, Menteri Luar Negeri Turki juga menyoroti ancaman terorisme dan fakta bahwa Daesh/ISIS meningkatkan serangannya di Suriah.

Fidan menekankan bahwa PBB harus memainkan peran "terdepan" dalam menyelesaikan konflik di Suriah, tambah sumber tersebut.

Suriah telah terjebak dalam perang saudara berkepanjangan dan sengit sejak awal 2011 ketika rezim Bashar al-Assad menindak protes pro-demokrasi dengan kekerasan yang tak terduga. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement