REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai pencabutan nama Presiden Soeharto dari TAP MPR RI Nomor 11/MPR 1998 adalah pengkhianatan cita-cita reformasi. Dia pun mempertanyakan proses pencabutan itu.
"Kalau memang mau memperbaiki nama Presiden Soeharto, kan perlu ditempuh cara-cara yang lebih elegan ya dengan proses pengadilan terhadap Soeharto dan bagaimana kemudian apakah dia pantas kemudian dicabut ketetapan tersebut atau tidak," kata Feri kepada Republika, Sabtu (28/9/2024).
Menurut dia, MPR sebelumnya tidak pernah berupaya menampung aspirasi masyarakat soal hal tersebut, seperti ketika mereka ikut pemilu, berkampanye soal itu, sehingga rakyat bisa menentukan pilihannya, setuju atau tidak, dengan cara memilih mereka atau tidak.
"Jadi ini tiba-tiba, apalagi kalau dilihat mereka itu kan produk Pemilu 2019. Dan di ujung masa akhirnya mereka memaksakan membuat ketetapan yang tidak pernah berupaya menampung keinginan dan kehendak publik terhadap rezim Soeharto dan 32 tahun di bawah kekuasaannya," jelas dia.
Menurut Feri, bukan berarti Soeharto dan keluarganya tidak berhak mendapatkan upaya untuk memperbaiki namanya. Tapi, prosesnya harus dilakukan dengan baik melalui mekanisme yang ada seperti pengadilan dan lain-lain. Dia melihat hal itulah yang tidak dilakukan oleh MPR kemarin.
"Tentu disebut produk hukum ketetapan MPR. Cuma apakah prosesnya benar? Nah itu yang kemudian dipertanyakan. Kalau produk hukum sih produk hukum. Kan lembaga resmi yang mengeluarkan. Tetapi setiap lembaga yang punya wewenang belum tentu benar dalam menggunakan wewenangnya," jelas dia.