Kamis 12 Sep 2024 16:07 WIB

Tak Ada Nama Sudirman Said dan Mantan Pegawai KPK yang Dipecat Firli di 20 Besar Capim KPK

Sudirman Said sempat lolos tes tertulis calon pimpinan KPK periode 2024-2029.

Mantan Menteri ESDM Sudirman Said  menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti tes Calon pimpinan (Capim) KPK periode 2024-2029 di Pusat Pengembangan Kompetensi ASN Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (31/7/2024). Menurut panitia seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK Masa Jabatan 2024-2029, sebanyak 229 calon pimpinan KPK hadir pada pelaksanaan tes tertulis, sementara tujuh orang yang tidak hadir dan dipastikan gugur.
Foto:

Nama lain yang tak lolos seleksi asesmen profil adalah mantan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK, Giri Suprapdiono. Giri adalah satu dari 75 pegawai yang pernah dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) saat KPK dipimpin oleh Firli Bahuri. TWK merupakan sebuah tes yang sudah dinyatakan melanggar HAM oleh Komnas HAM dan telah terbukti maladministrasi oleh Ombudsman RI.

Ironisnya, selama mengabdi di KPK, Giri merupakan pengajar wawasan kebangsaan yang rutin menjadi narasumber di berbagai sekolah, kampus, hingga lembaga negara. Sosok yang sudah 16 tahun mengabdi di KPK sebelum akhirnya dipecat itu bahkan pernah menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik dalam pelatihan kepemimpinan nasional II angkatan XVII di LAN.

Dalam proses seleksi capim KPK periode 2024-2029, Giri sempat lolos tes tertulis dan masuk dalam 40 besar. Namun, sama nasibnya seperti Sudirman Said, nama Giri tak ada dalam daftar 20 besar capim KPK yang lolos tes profil asesmen.

Selain Giri, beberapa mantan pegawai KPK yang pernah dipecat Firli sebenarnya ingin ikut serta dalam proses seleksi capim KPK, namun terbentur aturan syarat usia. Mereka bersama mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan pun kemudian menggugat Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

photo
Pemohon Novel Baswedan (kedua kanan) bersama Ketua IM 57+ Institute Praswad Nugraha (kedua kiri) dan mantan penyidik KPK Lakso Anindito (kiri) mengikuti sidang putusan tentang gugatan syarat usia calon pimpinan KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
 
 
 
Namun, pada Kamis (12/9/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Novel Baswedan dan rekan. Diketahui, untuk menjadi capim KPK, seseorang harus berusia minimal 50 tahun.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 68/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Pada perkara ini, Novel Baswedan meminta MK untuk memasukkan frasa tambahan ke dalam Pasal 29 huruf e UU KPK. Novel ingin pegawai KPK yang berpengalaman menjalankan fungsi utama KPK juga dapat mendaftarkan diri sebagai capim.

Novel dan rekan meminta agar pasal tersebut dimaknai menjadi:

Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai pegawai KPK yang menjalankan fungsi utama KPK, yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama satu periode masa jabatan pimpinan KPK, atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun.”

Novel, salah satunya, mendalilkan bahwa pembatasan usia 50 tahun dapat mengakibatkan hilang dan berkurangnya peluang mendapatkan capim KPK yang mempunyai kemampuan atau kualifikasi istimewa. Menurut dia, banyak warga negara Indonesia berusia di bawah 50 tahun yang mempunyai kualifikasi maupun kemampuan menjadi pimpinan KPK.

Calon-calon pimpinan tersebut diperlukan untuk memperbaiki KPK yang dianggap sedang berada di titik nadir dan mengalami krisis kepemimpinan. Terkait dalil tersebut, MK menyatakan, tidak atau belum adanya kesempatan para pemohon untuk mendaftar capim KPK pada periode saat ini, tidak serta merta menutup upaya perbaikan lembaga KPK.

“Mahkamah berpendapat bahwa perbaikan lembaga KPK dapat dilakukan dengan proses seleksi yang menghasilkan calon-calon pimpinan yang lebih baik, berintegritas, memiliki kompetensi yang andal, serta teruji independensinya,” ucap Suhartoyo.

Menurut MK, sembari menunggu momentum para pemohon memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai capim KPK, Novel dan rekan tetap dapat berkontribusi untuk pemberantasan tindak pidana korupsi melalui peran serta masyarakat.

MK pun menegaskan bahwa penentuan batasan usia dalam suatu undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Batasan usia dapat dinilai oleh MK, apabila ketentuan tersebut melanggar batasan kebijakan hukum terbuka.

Namun, MK tidak menemukan adanya pelanggaran batasan kebijakan hukum terbuka dalam perkara yang dimohonkan Novel dan rekan. Selain itu, ketentuan syarat usia yang dipersoalkan juga dinilai tidak menimbulkan problematika kelembagaan.

“Setidak-tidaknya Mahkamah tidak menemukan adanya potensi yang kuat bahwa perubahan syarat usia demikian mengakibatkan kebuntuan hukum serta menghambat pelaksanaan tugas-tugas KPK sebagai lembaga pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi,” kata Ketua MK.

Lebih lanjut, MK menilai, permasalahan yang dihadapi KPK saat ini tidak berkorelasi langsung dengan syarat usia capim KPK. Menurut MK, jika permasalahan KPK seperti yang didalilkan Novel benar, maka hal itu lebih berkaitan dengan komitmen dan integritas, baik secara personal pimpinan KPK maupun secara kelembagaan.

“Dengan mengubah batas syarat paling rendah usia calon pimpinan KPK, menjadi lebih rendah atau menjadi lebih tinggi, menurut Mahkamah tidak akan serta-merta mengakibatkan bertambahnya jumlah pendaftar yang berintegritas atau berkurangnya jumlah pendaftar yang berintegritas,” imbuh Suhartoyo.

Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menyatakan dalil permohonan Novel Baswedan dan rekan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Namun, Hakim Konstitusi Arsul Sani memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Arsul menilai, seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement