Senin 09 Sep 2024 16:04 WIB

Kejaksaan: Restorative Justice tak Bisa Diterapkan dalam Kasus Landak Jawa di Bali

Tidak diterapkan RJ karena tidak memenuhi persyaratan dilakukannya RJ.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
Foto: Antara/Fransiskus Salu Weking
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak bisa menerapkan restorative justice (RJ) terkait kasus Landak Jawa yang menyeret Nyoman Sukena ke kursi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar mengatakan, kasus terkait dengan pemeliharaan satwa dilindungi tersebut, tak menjadikan orang lain sebagai korban.

Kata Harli, kasus tersebut menjadikan negara sebagai korban. Dan dalam salah-satu persyaratan penerapan RJ, mengharuskan adanya korban dari pihak lain, atau perorangan. “Tidak diterapkan RJ karena tidak memenuhi persyaratan dilakukannya RJ. Misalnya, dalam perkara ini tidak ada korban (perorangan). Jadi negara adalah korbannya,” begitu kata Harli kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/9/2024).

Harli mengatakan, kasus yang menyeret Nyoman Sukena tersebut terkait dengan memelihara Landak Jawa. Binatang tersebut, termasuk dalam  satwa yang dilindungi menurut Undang-undang (UU) 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dan Ekosistemnya. Kata Harli, dari pendakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terungkap, Nyoman Sukena memelihara Landak Jawa dengan tujuan penangkaran, dan pengembangbiakan.

Namun dalam kegiatan pemeliharaan, penangkaran untuk pengembangbiakan tersebut, dilakukan ilegal alias tanpa izin. “Bahwa terdakwa berhasil melalukan penangkaran landak tersebut, tetapi belum memiliki izin dalam memelihara, dan memiliki satwa,” begitu kata Harli. Pun diketahui, kegiatan yang dilakukan Nyoman Sukena tersebut, dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. 

Hal tersebut terungkap dalam dakwaan JPU yang menyatakan Nyoman Sukena tak terlibat, atau sebagai anggota dari kegiatan resmi untuk penangkaran landak tersebut. “Di Buleleng (Bali) ada grup penangkaran Landak, yang ada di Bali. Tetapi terdakwa tidak masuk dalam grup tersebut,” begitu ujar Harli. Dari alasan-alasan tersebut, kata Harli, kejaksaan menutup peluang untuk dilakukan restorative justice. Pun JPU tetap pada penegakan hukum untuk Nyoman Sukena.

Nyoman Sukena (laki-laki 25 tahun) asal Badung, Bali didakwa di PN Denpasar atas kasus pemeliharaan Landak Jawa. Kepolisian di Bali, menangkap Nyoman Sukena sejak Maret 2024 lalu atas laporan dari masyarakat. Mengacu dakwaan yang sudah dibacakan JPU pekan lalu, Nyoman Sukena dijerat dengan Pasal 21 ayat (2) a juncto Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990. Nyoman Sukena terancam lima tahun penjara. Dan sampai saat ini, Nyoman Sukena masih dalam penahanan.

Kasus ini menjadi perhatian publik belakangan. Pengacara Maqdir Ismail, bahkan turut menjadi pembela Nyoman Sukena. Kata Maqdir, kasus ini sebetulnya tak perlu harus sampai ke pengadilan. Karena menurutnya, dari sejumlah fakta penyidikan, kegiatan Nyoman Sukena didasarkan atas ketidaktahuan tentang Landak Jawa yang dilindungi sebagai satwa liar. Pun kata dia, kegiatan Nyoman Sukena tersebut, tak dilakukan untuk kegiatan ekonomi, ataupun mencari keuntungan.

Pun, kata Maqdir, Landak Jawa yang dipiara oleh Nyoman Sukena bukan untuk konsumsi. Karena itu, kata Maqdir, tak seharusnya kasus tersebut berujung pada pemidanaan. Maqdir menyarankan, agar kejaksaan menerapkan restorative justice dalam penanganan kasus tersebut. “Hukum itu seharusnya untuk melindungi orang, bukan untuk menghukum orang,” begitu ujar Maqdir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement