REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada akhirnya, Kejaksaan Agung (Kejakgung) resmi menyerahkan penanganan kasus korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (PKP). Padahal sebelumnya Menkeu Sri Mulyani melaporkan dugaan korupsi LPEI ke Kejakgung.
Lalu apa penyebab Kejagung menyerahkan kasus ini ke KPK?. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Harli Siregar, mengatakan, penyerahan perkara tersebut, dilakukan oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) agar tak terjadi tumpang tindih penanganan korupsi dalam kasus sama.
“Oleh karenanya, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi pada LPEI, tim penyidik Jampidsus telah menyerahkan satu bundel berkas perkara dan sejumlah barang bukti kepada KPK untuk ditindaklanjuti,” kata Harli dalam siaran pers yang diterima, Jumat (16/8/2024).
Perkara korupsi yang diserahkan penangananya oleh Jampidsus kepada KPK terkait dengan laporan penyimpangan kredit LPEI kepada empat perusahaan, yakni PT RSI, PT SMR, PT PSV dan PT PRS.
Sebenarnya Kejakgung telah mengusut kasus LPEI ini, pada 2021. Kasusnya terkait gelontoran pembiayaan ekspor senilai Rp 4,6 triliun untuk delapan group perusahaan, dan 27 anak perusahaan. Dalam penyidikan ketika itu, Jampidsus menetapkan delapan orang sebagai tersangka, membawanya ke persidangan sebagai terdakwa, dan divonis bersalah, dan dipenjara, karena terbukti melakukan korupsi, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 2,6 triliun.
Dan pada Maret 2024, Menkeu Sri Mulyani, melaporkan langsung kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin perihal dugaan korupsi pada LPEI yang menjadi pengusutan jilid ke-2. Pelaporan tersebut terkait dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp 2,5 triliun dalam penyimpangan pemberian fasilitas kredit empat perusahaan ekspor.
Jaksa Agung menerangkan, laporan Menkeu tersebut, merupakan aduan tahap pertama dari usaha penegakan hukum atas potensi kerugian negara yang terjadi di LPEI. “Ini baru tahap pertama. Karena nanti akan ada tahap keduanya,” kata Jaksa Agung.
Pelaporan tahap pertama, kata Burhanuddin, empat debitur yang terindikasi melakukan penyimpangan atas pembiayaan ekspor dari LPEI. Di antaranya adalah PT RII senilai Rp 1,8 triliun, PT SMR senilai Rp 216 miliar, PT SRI sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sekitar Rp 305 miliar. “Jumlah keseluruhannya sebesar (Rp) 2,505 triliun. Ini yang (pelaporan) tahap pertama,” ujar Burhanuddin.
Selain empat debitur tersebut, kata Burhanuddin, saat ini tim terpadu juga masih melakukan tahap pengkajian terhadap enam debitur lainnya yang nilai dugaan penyimpangannya mencapai Rp 3 triliun.
Namun setelah Menkeu Sri Mulyani melaporkan dugaan korupsi LPEI ke Kejakgung, KPK pada Selasa (19/4/2024) mengumumkan kasus serupa ke level penyidikan. Meskipun saat itu belum menetapkan tersangka, akan tetapi dalam konfrensi pers resmi, KPK meminta Kejakgung menyetop pengusutan korupsi di LPEI.
KPK mengacu ke aturan perundang-undangan yang mengharuskan Kejakgung menghentikan semua tahapan proses hukum atas perkara tindak pidana korupsi yang sedang dalam penyidikan di KPK.
Pada akhir Juli 2024, KPK baru mengumumkan tujuh tersangka dalam penyidikan korupsi LPEI. Pada Selasa (6/8/2024) KPK melakukan serangkaian penggeledahan dan penyitaan dalam penyidikan lanjutan kasus di LPEI tersebut. KPK menyita uang tunai Rp 4,6 miliar, dan 13 batang logam mulia, serta ratusan perhiasan berbagai jenis, juga enam unit kendaraan mobil. Dan setelah penyidikan yang sudah dilakukan KPK tersebut, Jampidsus-Kejakgung memilih untuk mundur atas pelaporan Sri Mulyani tersebut, lalu menyerahkan pengusutannya kepada KPK.