Seperti diungkapkan dalam berbagai buku--termasuk autobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat--momen Proklamasi 17 Agustus 1945 itu cenderung terjadi secara spontan. Bahkan, Sukarno--dengan disaksikan Bung Hatta dan lalu beberapa anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kumpul di rumah Laksamana Maeda pada 16 Agustus 1945 malam--menuliskan teks Proklamasi di atas buku tulis anak-anak dan pena yang entah darimana ia dapatkan.
Semua serba buru-buru, serba kepepet. Namun, pada akhirnya semua ikhtiar itu berbuah manis, sangat indah: lahirnya Republik Indonesia.
Insiden sempat terjadi. Alex dicegat dan lalu diinterogasi tentara Jepang. Bahkan, film kamera yang dibawanya kemudian disita aparat itu. Plat-plat negatif miliknya juga dihancurkan oleh orang-orang Nippon ini.
Beruntung. Frans S Mendur tak sampai mengalami nasib yang sama dengan abangnya. Sebab, ia lebih dahulu menjaga foto-foto hasil jepretannya dengan cara mengubur plat-plat negatif miliknya di halaman Kantor Asia Raya.
Sewaktu diinterogasi tentara Jepang, Frans mengarang bahwa negatif film miliknya sudah dirampas pihak Barisan Pelopor, yakni anak-anak muda revolusioner yang bersenjata dan selalu mengawal Bung Karno, termasuk saat momen pembacaan teks Proklamasi RI.
Polisi Nippon percaya. Kemudian, saat yakin bahwa situasi sudah aman, Frans mengambil negatif film yang sudah disembunyikannya. Lantas, ia mencetaknya secara diam-diam di kamar gelap Kantor Berita Domei.
Perlu waktu berbulan-bulan untuk foto karya Frans terbit di media massa. Sebab, kondisi saat itu masih sarat sensor pihak militer Jepang, yang ingin terus menjaga status-quo Indonesia hingga Sekutu datang.
Barulah pada 17 Februari 1946, foto-foto karya Frans Mendur berhasil disebarluaskan via penerbitan khusus “Nomor Peringatan Enam Bulan Republik”, yang diterbitkan koran Merdeka.