Sabtu 17 Aug 2024 13:44 WIB

Kisah Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo (Bagian I)

Pembacaan teks Proklamasi Indonesia ini tiga tahun lebih awal daripada 17/8/1945.

Monumen Tilongolo Nani Wartabone, Kota Gorontalo, Gorontalo. Bangunan ini didirikan untuk mengenang Hari Patriotik 23 Januari 1942.
Foto:

Joni Apriyanto dalam artikelnya, “Tumbuhnya Nasionalisme di Gorontalo: Sebuah Pencitraan Historiografi” menjelaskan, Gorontalo pada awal abad ke-20 menjadi tempat suburnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan kalangan pribumi. Di daerah tersebut, hadirlah berbagai motor pergerakan, semisal Sarekat Islam (SI) atau Muhammadiyah.

Banyak pemuda Gorontalo yang aktif dalam organisasi-organisasi demikian. Mereka mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan upaya-upaya kebangkitan nasional. Apriyanto menilai, di balik tumbuhnya pergerakan kebangsaan di daerah tersebut, ada pengaruh dari dinamika atau tokoh-tokoh asal Jawa.

Pulau Jawa menjadi tujuan banyak elite lokal. Mereka mengidamkan, anak-anaknya mendapatkan pendidikan menengah maupun tinggi di sana. Nyatanya, selama bersekolah di kota-kota besar pulau tersebut sebagian remaja Gorontalo tidak hanya menekuni pembelajaran akademik. Anak-anak muda ini pun terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik pribumi.

SI, organisasi kebangsaan pertama di Tanah Air, lahir pada 16 Oktober 1905. Dalam perkembangannya kemudian, pergerakan ini memikat hati kaum muda terpelajar. Menurut Apriyanto, di Gorontalo SI dibawa oleh Karel Panamo dan Jusuf Sabah.

Tokoh sentral organisasi tersebut, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pada 1923 mengunjungi daerah itu guna menggembleng kesadaran rakyat. Tujuh tahun berselang, eksistensi SI di Gorontalo mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Rezim kolonial lantas melarang aktivitasnya. Nasib serupa dialami pula oleh Partai Indonesia (Partindo)—sebuah metamorfosis dari Partai Nasional Indonesia (PNI)—cabang Gorontalo yang diinisiasi Nani Wartabone.

Kaum muda Gorontalo tidak patah arang. Apriyanto mengatakan, sebagian dari mereka—termasuk Nani—beralih ke organisasi-organisasi yang bekerja khususnya di ranah sosial-budaya, alih-alih politik terbuka. Inilah awal mulanya Muhammadiyah berkembang pesat di sana.

Jusuf Otoluwa berjasa dalam memperkenalkan persyarikatan itu kepada masyarakat lokal. Ia mengenal organisasi tersebut saat mengikuti sekolah guru di Jakarta. Sejak 1928, perwakilan ormas Islam itu untuk Gorontalo resmi terbentuk. Seiring bergantinya tahun, perkembangannya kian signifikan.

Baca selanjutnya di sini

photo
ILUSTRASI Masjid Sultan Amai di Gorontalo. Sultan Amai merupakan raja Gorontalo pertama yang memeluk Islam. - (DOK WIKIPEDIA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement