REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keheningan Madiun, Jawa Timur, terkoyak oleh suara tiga kali letusan pistol. Itulah isyarat bagi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setempat untuk bergerak. Pada Sabtu dini hari pukul 03.00 WIB, tanggal 18 September 1948, dimulailah pemberontakan kaum komunis tersebut.
Pemimpin mereka, Muso Manowar, memproklamasikan berdirinya “Negara Republik Soviet Indonesia.” Inilah kudeta sekaligus separatisme terang-terangan pertama terhadap RI yang baru tiga tahun merdeka. Padahal, saat itu bangsa Indonesia sedang berjuang menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Tanah Air.
Bagaikan kerumunan laron, ribuan orang pendukung PKI maupun Front Demokrasi Rakyat (FDR) turun ke jalan-jalan. Dari pelbagai arah, mereka datang dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan berbagai senjata lainnya. Massa ini menyerbu berbagai tempat strategis, seperti kantor pemerintah kabupaten/kecamatan/kelurahan, kantor kejaksaan, dan bahkan markas polisi, markas distrik militer, serta depo militer.
Tidak hanya di Madiun, pergerakan mereka meliputi daerah-daerah lain. Di antaranya adalah, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.
Dalam waktu relatif singkat, laskar merah berhasil menduduki semua kabupaten/kota tersebut. Mereka lantas melakukan aksi berikutnya, yakni pembunuhan massal. Semua tokoh masyarakat yang dicap anti-komunis ditangkapinya. Sasarannya adalah para bupati, patih, wedana, kepala kepolisian, jaksa, guru, dan pemuka organisasi masyarakat beserta bawahannya. Mereka juga menyasar kalangan kiai, ustaz, dan santri.
Lubang-lubang eksekusi disiapkan. Semua tersebar pada banyak titik, khususnya di area Madiun, Magetan, dan sekitarnya. Para korban yang telah disekap lalu digiring. Satu per satu mereka dijagal oleh anggota FDR/PKI.
Sebagian rakyat Jawa Tengah sempat melawan meskipun kekuatan FDR/PKI lebih terorganisasi. Perjuangan dilakukan pula oleh elemen umat Islam hingga titik darah penghabisan. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), misalnya, membentuk Brigade PII untuk membendung kaum komunis. Pemimpin brigade ini, seorang siswa madrasah aliyah, gugur bersama dengan delapan orang rekannya.
Maksum, Agus Sunyoto, dan A Zainuddin dalam Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990) menuturkan, dalam tempo beberapa hari sejak 18 September 1948 Magetan jatuh seluruhnya ke tangan FDR/PKI. Menurut mereka, peristiwa ini memang dikenal sebagai Pemberontakan Madiun (Madiun Affair) di kemudian hari. Namun, sebenarnya masyarakat di Kabupaten Magetan-lah yang menerima dampak paling besar dari ulah kaum komunis ini.