Jumat 16 Aug 2024 09:30 WIB
NIKMAT MERDEKA

Bersama Melawan Perubahan Iklim

Dibutuhkan aksi bersama untuk memitigasi serta beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Beton bangunan mushala terendam air laut akibat abrasi di kawasan tanggul Muara Baru, Jakarta, Senin (2/1/2023).
Foto:

Pada masa yang akan datang, Walhi memperkirakan lebih dari 12 ribu desa pesisir di Indonesia akan terancam tenggelam akibat kenaikan air laut yang disebabkan oleh krisis iklim. Sepanjang tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, WALHI mencatat sebanyak 5.416 desa pesisir yang tenggelam karena banjir rob.

Dalam jangka panjang, dampak buruk krisis iklim akan memaksa lebih dari 23 juta orang masyarakat pesisir harus mengungsi dari kampung halamannya pada tahun 2050 mereka dinamakan pengungsi iklim.

Dampak mengerikan perubahan iklim yang semakin terasa memperkuat upaya lembaga-lembaga filantropi untuk menanggulangi krisis iklim. Perhimpunan Filantropi Indonesia mengatakan terdapat empat tema yang menjadi prioritas lembaga filantropi di Indonesia, salah satunya adalah iklim atau lingkungan.

Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia Rizal Algamar mengatakan saat ini semakin banyak lembaga Filantropi yang berfokus pada lingkungan. Rizal mengatakan Perhimpunan Filantropi Indonesia juga memiliki klaster perubahan iklim.

"Anggota kami ada yang bergerak di isu perubahan iklim. kami punya klaster terkait perubahan iklim," kata Riza di sela peluncuran Indonesia Philanthropy Outlook 2024 pada awal Juli.

Ia mengatakan fokus isu perubahan iklim di lembaga-lembaga filantropi yang bergabung dengan Filantropi Indonesia bermacam-macam. Ada yang bergerak di bidang konservasi, restorasi, plastik, pemberdayaan dan lain-lain. "Di Indonesia Philanthropy Outlook 2024 isu perubahan iklim menjadi isu paling banyak (dijadikan prioritas), di urutan keempat," katanya.

Menurutnya, kesadaran masyarakat pada isu-isu perubahan iklim semakin kuat. "Sekarang kita tinggal bagaimana menyelaraskan dengan strategi pemerintah, sehingga filantropi dapat turut serta mendorong isu-isu strategis," katanya.

Menurutnya, dampak perubahan iklim yang mendorong banyak lembaga filantropi mulai bergerak ke isu tersebut. "Saya rasa kita semua merasakan dampak perubahan iklim, dari segi intensitas cuaca, kalau panas semakin panas kalau hujan semakin singkat intensitasnya juga semakin kuat," katanya.

Anggota Perhimpunan Filantropi Indonesia dan sebagai lembaga yang turut dalam pembangunan bangsa, Dompet Dhuafa, terlibat dalam banyak hal yang salah satunya mengenai penanganan bencana iklim. Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa, Juperta Panji Utama mengatakan hal yang bisa dilakukan Dompet Dhuafa sebagai lembaga filantropi adalah mengajak seluruh stakeholder menyadari bencana perubahan iklim.

"Itu yang paling awal, mengedukasi masyarakat bahwa perubahan iklim bukan semata-mata teori atau apa, memang ada bencana ini, poin pokoknya adalah perubahan iklim disebabkan karena alam, bahwa manusia sebagai penghuni alam semesta ini berkontribusi dalam peristiwa bencana alam," kata Panji.

Selama ini, kata Panji, Dompet Dhuafa sudah melakukan penetrasi melalui edukasi tentang bahaya perubahan iklim dan bagaimana cara mencegahnya. Dompet Dhuafa mencoba memberi contoh, meski belum dalam skala sebesar yang dibayangkan masyarakat.

Panji mengungkapkan, ada beberapa program lingkungan yang dijalankan Disaster Management Center Dompet Dhuafa, antara lain, Brand Audit Plastic Waste 11 Provinsi - Voluntrip Waste Summit 2023, Kampanye Aktivasi Edukasi Mengenai Lingkungan di Sosial Media, Sekolah, Kampus (DMC Goes to Campus, Waste Management Ternate, Maluku Utara, Green Office DMC Dompet Dhuafa, dan Kurban Tanpa Plastik.

Dompet Dhuafa juga bekerja sama dengan Wahana Lingkungan (Walhi) dalam program Intervensi di wilayah pesisir utara pulau Jawa. Panji mengatakan pesisir utara Jawa merupakan tahapan awal dan bergeser pelan-pelan ke wilayah pesisir lainnya.

Kerja sama ini mencakup Advokasi Lingkungan Hidup, mendapatkan dukungan publik (donasi, bibit, dan yang bersifat barang), penguatan informasi dan edukasi mengenai krisis iklim, deforestasi, konservasi alam dan mitigasi bencana, mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Zenzi Suhadi mengatakan sebelum membahas dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi perubahan iklim, harus ada kepastian status dana bantuan negara-negara maju pada negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim. Menurutnya, dana perubahan iklim itu seharusnya dana tanggung jawab negara-negara industri yang menjadi pemicu pelepasan emisi di era emisi menjadi signifikan.

"Mereka harus bertanggung jawab untuk itu, mendukung negara-negara selatan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan perubahan iklim, membantu negara-negara selatan untuk memitigasi dan membantu manusia negara selatan untuk beradaptasi pada perubahan iklim," katanya.

Ia mengatakan bila tidak ada kepastian status bantuan tersebut maka dana yang dikeluarkan negara-negara industri atau maju, justru akan meningkatkan krisis iklim karena akan didorong untuk membiayai solusi-solusi palsu dan menyembunyikan penyebab perubahan iklim yang sesungguhnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement