REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seperti laiknya saudara kandung, netizen Malaysia dan Indonesia kembali saling menggoda. Kali ini Indonesia disindir "hanya" bisa mendapat dua emas di Olimpiade Paris dengan jumlah penduduk yang mencapai 275 juta orang. Ironisnya menjelang kemerdekaan dulu, marak dukungan di wilayah Malaya itu untuk bergabung dengan Indonesia. Begini kisahnya.
Bermula dari Abdul Hadi Hassan, seorang guru sejarah dari Sultan Idris Training College for Malay Teachers pada awal abad ke 20. Dicatat arsip Republika, Hassan menggunakan pendekatan etnografi dan historiografi, serta peran kolonial memecah belah dunia Melayu.
Menurut Hassan, Hindia Belanda yang meliputi Pulau Jawa dan sebagian Sumatra; Borneo, Malaya jajahan Inggris plus Singapura di dalamnya, serta Kalimantan Utara adalah tanah-tanah yang dipersatukan oleh kerajaan besar Sriwijaya dan Majapahit. Belanda dan Inggris memisahkan wilayah ini, menurut kepentingan masing-masing, melalui Traktat London 1824.
Dalam traktat disebutkan, Belanda menyerahkan semua yang dimilikinya di wilayah India, benteng di Malaka, tidak membuka kantor di Semenanjung Melayu, menarik diri dari Singapura. Inggris meminta akses perdagangan ke Kepulauan Maluku, terutama Ambon, Banda, dan Ternate.
Inggris juga menyerahkan pabriknya di Bengkulu dan seluruh kepemilikan atas Pulau Sumatra kepada Belanda, serta tidak mendirikan perwakilan atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal. Inggris juga tidak mendirikan kantor-kantor perwakilan di Karimun, Batam, Bintan, Lingin, dan pulau-pulau yang di sebelah selatan Singapura atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal. Intinya, Traktat London membagi Tanah Melayu menjadi dua dengan batas alaminya Selat Malaka. Sedangkan, di Kalimantan, Inggris relatif mempertahankan penguasaannya di Serawak serta Sabah yang disewa dari Kesultanan Sulu.
Inggris relatif tidak tertarik menjarah tanah-tanah kesultanan Melayu di sepanjang pantai utara Kalimantan, yang membuat Kesultanan Sambas, Mempawah, dan Pontianak, relatif menikmati kemerdekaannya pada awal abad ke-19. Namun, setelah orang Hakka masuk ke Sambas, Mempawah, dan Pontianak untuk menambang emas, Belanda menginvasi ketiganya dan mendirikan pos-pos dagang.
Pada saat bersamaan, di Pulau Jawa, Syarikat Islam menebar benih nasionalisme di kalangan anggotanya. Sebagai akibat politik etis Belanda, kalangan terdidik juga mulai menyuarakan nasionalisme. Bentuk yang paling nyata adalah Sumpah Pemuda 1928.
Gagasan kebangsaan Melayu telah ada di Malaysia sejak 1900, yaitu ketika sekelompok sarjana Islam asal Malaysia mempublikasikan artikel-artikel yang menyuarakan nasionalisme. Sedangkan, gerakan terorganisasi kebangsaan Melayu sebenarnya telah ada sejak 1938 atau ketika Ibrahim Yaacob mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM).
Pada saat-saat ini juga, ide “Melayu Raya” mulai malih menjadi “Indonesia Raya”. Saat itu, Yaacob dan Abdul Hadi Hassan sudah awam soal perjuangan Sukarno dan kawan-kawan untuk merdeka dari kolonialis Belanda. Menurut sejarawan Malaysia Cheah Boon Keng dalam Ibrahim Yaacob and the Struggle for Indonesia Raya (1977), para pemuda di KMM saat itu sangat terpengaruh dengan Kongres Pemuda II yang menyepakati sebuah negara bernama Indonesia tanpa disekat oleh suku-suku bangsa.
Ketika Jepang menginvasi Asia, pewaris gagasan Indonesia Raya di Indonesia maupun di Malaysia menyambut Saudara Tua, demikian Jepang menyebut dirinya, sebagai kekuatan yang akan mempersatukan tanah-tanah Melayu. Pemimpin-pemimpin Melayu, mulai dari Buya Hamka, Sukarno, sampai yang berada di Semenanjung Malaya, mendukung Jepang.
Asumsi para pemimpin tidak keliru. Jepang mendepak Belanda dari Jawa dan wilayah-wilayah jajahannya di Indonesia, mengusir Inggris dari Semenanjung Melayu, dan mempersatukan semua wilayah. Jepang menjadikan pembentukan Melayu Raya alias Indonesia Raya sebagai impian yang sangat mungkin terwujud.
Sebab itu, sepanjang pendudukan Jepang, Ibrahim Yaacob dan Dr Burhanuddin Al- Hemy aktif menjalin kerja sama dengan Jepang. Pada 1943, Jepang membentuk Giyu gun di Semenanjung Malaya sebagai pasukan persiapan kemerdekaan. Pada 1944, seiring menguatnya potensi kekalahan Jepang di Perang Dunia II, persiapan kemerdekaan dan penggabungan Semenanjung Malaya ke dalam Indonesia Raya makin menguat. Ibrahim Yacoob saat itu kemudian membentuk KRIS, yang kemudian ia artikan sebagai “Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung”.
Di Indonesia, persiapan kemerdekaan juga dilancarkan. Rapat-rapat dilangsungkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mulai digelar sejak awal 1945. Dalam sidang-sidang itu, Mohammad Yamin sangat getol memasukkan Semenanjung Malaya dan bagian utara Kalimantan sebagai wilayah Indonesia. Ia bahkan berpandangan Indonesia bisa dilebarkan ke semua wilayah di Asia Tenggara yang ditinggali Muslim Melayu. “Daerah Malaya adalah tanah Islam Indonesia, dan janganlah orang Islam diperhubungkan dibawah kekuasaan negara Muangthai yang beragama Buddha itu,” ujarnya dalam sidang pada 13 Mei 1945.
Bung Hatta dan KH Agus Salim mewanti-wanti, penyertaan Malaya ke wilayah Indonesia harus sepersetujuan warga setempat. Hal ini guna menyangkal asumsi imperialisme republik baru yang mereka bentuk nanti. Secara keseluruhan, sidang sepakat bahwa Indonesia bakal meliputi Malaya dengan syarat kerelaan warga dan aktivis setempat.
Pada 8 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan dr Radjiman Wedyodiningrat dipanggil menghadap Marsekal Hisaichi Terauchi ke Dalat di Vietnam. Marsekal Terauchi yang merupakan panglima tentara Jepang yang bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara selama Perang Dunia II menjanjikan kemerdekaan dengan imbalan pembelaan saat ada serangan dari sekutu.
Para pemimpin pergerakan Indonesia itu, sempat mampir sebentar di Bandara Changi di Singapura. Mengetahui kedatangan keduanya, anggota KMM menaikkan bendera Merah Putih di Bioskop Cathay. Sejumlah petinggi KMM seperti Onan Haji Siraj, Hassan Manan, dan Pakcik Ahmad juga menemui Sukarno-Hatta di bandara.
Di Vietnam, pada 9 Agustus, kedua proklamator mendapat jaminan dukungan kemerdekaan dari Jepang. Mereka kemudian kembali ke Tanah Air dengan mampir sebentar di Bandara Taiping di Perak. Di sana, mereka bertemu dengan Ibrahim Yaacob. Ia kemudian melaporkan kesediaan Malaya untuk merdeka dan menjadi bagian dari Indonesia. Ia juga menyarankan kemerdekaan Malaya yang akan menjadi bagian dari Indonesia diproklamasikan pada akhir Agustus.
Selain itu, Ibrahim Yaacob juga menjanjikan delegasi delapan orang beserta Sultan Perak, Abdul Aziz, akan berangkat untuk menghadiri proklamasi kemerdekaan bisa akhirnya diumumkan di Jakarta. Bung Karno sangat senang dengan antusiasme Ibrahim Yaacob ini. “Mari kita ciptakan Tanah Air untuk suku bangsa di Indonesia,” kata Sukarno sambil menjabat tangan Ibrahim Yaacob. “Kami bangsa Melayu, akan mendirikan tanah air dengan menyatukan Malaya dan Indonesia. Kami bangsa Melayu bertekad menjadi bagian Indonesia,” balas Ibrahim Yaacob.
Akhir Melayu Raya... baca halaman selanjutnya