Kamis 25 Jul 2024 17:24 WIB

Penghapusan Jurusan IPA-IPS-Bahasa di SMA Memunculkan Sederet Isu di Lapangan

Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA masih menuai pro dan kontra.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Mas Alamil Huda
Seorang guru berfoto dengan siswa-siswanya di sela peringatan Hari Guru Nasional di SMAN 12 Bandung, Senin (27/11/2023). Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa masih menuai pro dan kontra.
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Seorang guru berfoto dengan siswa-siswanya di sela peringatan Hari Guru Nasional di SMAN 12 Bandung, Senin (27/11/2023). Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa masih menuai pro dan kontra.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA masih menuai respons beragam dari kalangan praktisi serta pengamat pendidikan. Kebijakan tersebut dinilai masih menyisakan beberapa isu di lapangan.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Edi Subhkan mengatakan, keputusan penghapusan IPA, IPS, dan Bahasa memiliki dampak positif serta negatif. Dia mengungkapkan, salah satu pertimbangan dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa adalah karena adanya semacam stigma.

Baca Juga

“Jadi ada stigma kalau anak-anak pintar masuknya IPA, yang tidak terlalu pintar masuknya IPS, dan yang paling tidak pintar itu masuknya Bahasa. Jadi ada stigma negatif yang merugikan siswa itu sendiri. Padahal mungkin saja ada anak pintar yang memang mau belajar bahasa karena minatnya bahasa,” ucap Edi kepada Republika, Rabu (24/7/2024).

Dia menambahkan, penghapusan penjurusan di SMA juga dimaksudkan agar siswa bisa memiliki keleluasaan untuk mengambil mata pelajaran (mapel) yang akan menunjang studi lanjutan maupun kariernya di masa depan. Edi menyebut, ada cukup banyak pilihan program studi di tingkat pendidikan tinggi yang tidak terakomodasi oleh penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.

“Jadi peniadaan jurusan ini memberikan peluang bagi yang mau studi lanjut atau melanjutkan karier yang tidak secara langsung ditunjang ketiga penjurusan itu. Jadi ada sisi fleksibilitas di situ,” ujar Edi.

Kendati demikian, Edi mencatat, dihapuskannya penjurusan di tingkat SMA juga memiliki kekurangan. Misalnya ketika siswa tidak bisa menentukan mapel pilihan apa yang hendak diambilnya. “Maka mungkin saja dia (siswa) akan memilih mapel yang mubazir. Artinya tidak bisa menunjang betul karier atau bekal studi lanjut,” ucapnya.

Selain itu, Edi menambahkan, dengan diberikannya keleluasaan pada siswa untuk memilih mapel secara mandiri, muncul kemungkinan ada beberapa mapel yang tidak dipilih atau sepi peminat. “Akhirnya guru yang mengampu mapel tersebut tidak bisa memenuhi target minimal jam mengajar dalam satu minggu. Imbasnya pasti terkait dengan keberlanjutan dari kariernya dia, termasuk tunjangan, sertifikasi guru, dan seterusnya,” kata Edi.

Menurut Edi, persoalan lainnya adalah mungkin saja tidak semua sekolah itu bisa memenuhi kebutuhan pilihan mapel siswa. “Jadi pilihan siswa beragam, tapi gurunya tidak ada,” ucapnya.

photo
Mala di Sekolah Kita - (Republika)

Siswa bisa memilih.. baca di halaman selanjutnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement