Ahad 14 Jul 2024 14:28 WIB

Ketika Post Truth Mewarnai Pemberitaan  

Kebenaran kini seolah ada di bagaimana netizen mayoritas berpendapat.

Firmansyah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung.
Foto: Unisba
Firmansyah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Firmansyah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung        

Belakangan muncul fenomena bagaimana netizen seolah menjadi detektif dan mencoba menguak kasus yang sedang ramai. Kasus Vina Cirebon yang diangkat menjadi sebuah film dan juga kasus pembunuhan Mirna dengan menggunakan kopi sianida, merupakan dua contoh dari sekian banyak kasus yang merasa dipecahkan oleh netizen.

Baca Juga

Kekuatan netizen seakan melegitimasi bahwa penyelesaian kasus dapat dipengaruhi oleh desakan dari masyarakat. Kini semakin kuat peran netizen untuk mendapatkan peran dalam setiap kasus dan permasalahan di negeri ini.

Padahal netizen belum tentu benar. Kebenaran kini seolah ada di bagaimana netizen mayoritas berpendapat. Kebenaran bahkan dapat digiring dengan asumsi netizen. Di sinilah post truth berkembang, yakni ketika keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta objektif.

Bisa dikatakan kebenaran kini merupakan konstruksi realitas dari penyebar dan penerima post truth tersebut. Secara garis besar post truth dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan pada suatu hal sehingga melegitimasi kebenaran hal tersebut dengan mengabaikan informasi-informasi atau fakta-fakta lain yang bertentangan.

Berkembangnya media sosial sebagai alternatif media arus utama pada akhirnya menjadi peluang untuk beredarnya post truth. Tidak seperti media arus utama, dalam media sosial tidak ada filterisasi serta cek dan ricek informasi. Post truth tumbuh karena tidak adanya filter atau gate yang bertanggungjawab  menyaring informasi yang menyebar.

Masyarakat yang diberikan beban untuk menyaring informasi yang beredar. Besarnya pengaruh informasi-informasi dan pesan-pesan hoax dan post truth pada masyarakat Indonesia menimbulkan pertanyaan bagaimana melakukan antispasi terhadap gelombang post truth yang semakin tak terbendung seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Bila hanya mengandalkan pada pendidikan masyarakat terhadap teknologi, perlu waktu yang lama bagi masyarakat untuk memahami kerentanan informasi dan pesan post truth.

Penyebaran hoaks di Indonesia ini dipandang semakin menimbulkan beragam masalah. Jemadu (2017) menyebutkan bahwa awalnya masyarakat mencari kebenaran atas informasi melalui media mainstream, namun saat ini hoax justru masuk ke dimensi lain di media sosial dan diadopsi begitu saja di media mainstream tanpa klarifikasi. Pertanyaan justru tertuju pada media massa arus utama sebagai produsen berita faktual mungkinkah juga terdampak post truth?

Steve Tesich memopulerkan kata post-truth untuk pertama kali dalam tulisannya yang diterbitkan majalah The Nation, 1992. Tulisan tersebut mengangkat skandal Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia yang terjadi pada tahun tersebut.

Tesich menilai bahwa sebagai orang bebas, setiap orang bebas memutuskan apa yang ingin dihidupkan di dunia post-truth. Biasanya pengirim dan penerima pesan post truth memiliki kesamaan dalam keyakinan akan suatu hal. Sehingga ketika pesan post truth itu diterima, maka tanpa pikir panjang penerima pesan tersebut meyakini kebenaran di dalamnya dan bukan tidak mungkin bahwa penerima tersebut mengirimkan kembali pesan tersebut kepada orang lain yang memiliki keyakinan yang sama. Pesan berantai tersebut pun semakin meluas sehingga pesan post truth yang beredar menjadi sebuah kebenaran yang diyakini sebagai kebenaran yang sesungguhnya, dengan mengabaikan informasi lain atau fakta-fakta yang muncul.

Masyarakat saat ini lebih mudah percaya pada informasi post truth yang belum diketahui kebenarannya daripada informasi berdasarkan fakta yang sesungguhnya namun tidak sesuai dengan keyakinannya. Celakanya adalah media massa arus utama juga terjebak pada informasi post truth di media sosial viralitas akan mendatangkan atensi masyarakat yang besar pada berita. Seperti halnya dalam istilah ekonomi, proses demand (permintaan) dan supply (penawaran) pada berita viral yang dapat mempengaruhi jumlah produksi pesan tersebut di masyarakat.

Semakin banyak permintaan sebuah produk berita viral maka akan semakin banyak produksi pesan yang akan beredar di masyarakat. Begitu juga dengan penawaran produk berita yang didapat dari viralitas di media sosial yang berpotensi mengandung post truth, semakin banyak yang mengkonsumsi maka produsen akan menganggap bahwa pesan tersebut menjadi produk unggulan dan akan terus diproduksi lalu ditawarkan kembali ke masyarakat.

Produsen informasi yang resmi yakni pers dan media massa arus utama kini tidak lagi punya kekuatan agenda setting, tetapi mengikuti tren viral di masyarakat. Jurnalisme di media arus utama yang sakral justru terancam oleh berita post truth di media sosial yang justru membuat masyarakat terlena dengan berbagai drama yang ditampilkan dalam pemberitaan.

Belum lagi industri media massa yang kini diisi para content creator bukan news creator. Alhasil, traffic kini lebih diutamakan dibandingkan kualitas dalam produk jurnalismenya. Berita mengenai korupsi dan isu berdampak masif kini kalah dengan berita drama pembunuhan berseri-seri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement