Ahad 14 Jul 2024 09:11 WIB

Penembakan Trump, Buah dari Polarisasi Ekstrem Politik AS?

Warga AS makin terbelah dalam sikap politiknya belakangan.

Kandidat presiden dari Partai Republik Donald Trump melambai dari panggung saat ia dikelilingi oleh agen Dinas Rahasia AS pada kampanye, di Butler, Pennsylvania, Sabtu, 13 Juli 2024.
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Kandidat presiden dari Partai Republik Donald Trump melambai dari panggung saat ia dikelilingi oleh agen Dinas Rahasia AS pada kampanye, di Butler, Pennsylvania, Sabtu, 13 Juli 2024.

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, PENNSYLVANIA – Upaya pembunuhan terhadap calon presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam kampanye di Pennsylvania pada Sabtu (14/7/2024) tak lahir dari ruang kosong. Mayoritas warga AS belakangan sudah mengkhawatirkan terjadinya kekerasan bermotif politik sehubungan polarisasi yang kian dalam di negara tersebut.

Baca Juga

Penembakan di kampanye Donald Trump saat ini telah diselidiki oleh aparat keamanan di AS sebagai upaya pembunuhan politik. Seorang jaksa setempat mengatakan tersangka pria bersenjata dan setidaknya satu orang yang hadir tewas. Dinas Rahasia mengatakan dua penonton terluka parah.

Serangan tersebut, yang dilakukan oleh seorang penembak yang menurut penegak hukum kemudian dibunuh oleh Dinas Rahasia, merupakan upaya pertama untuk membunuh seorang presiden atau calon presiden sejak Ronald Reagan ditembak pada 1981. Serangan tersebut terjadi di tengah suasana politik yang sangat terpolarisasi, hanya dalam waktu empat bulan dari pemilihan presiden dan beberapa hari sebelum Trump secara resmi ditunjuk sebagai calon dari Partai Republik di konvensi partainya.

Pemisahan sikap politik pemilih partai Demokrat dan Republik mulai mengental sejak Presiden Barack Obama dari Demokrat terpilih pada 2008. Sejak itu, pendukung Demokrat makin ke arah liberal sementara Republik makin konservatif. Pendukung kedua partai terbelah pada isu pengendalian senjata api (Demokrat cenderung mendukung), imigrasi (Republik mendukung pengetatan), hak aborsi (dibatalkan hakim konservatif), hak-hak komunitas gay (salah satu kampanye Demokrat), dan nasib minoritas di AS seperti Afrika-Amerika dan Muslim.

Media massa di AS yang tak menutupi kecenderungan politik mereka disebut ikut memicu polarisasi. Media sosial belakangan menambah parah fenomena tersebut. Ekstremitas politik itu kentara saat Trump kalah dalam pilpres 2020 dan pendukungnya menyerbu Capitol Hill alias gedung parlemen AS.

Selama dua dekade terakhir, Amerika telah menyaksikan serangan bermotif politik dan protes yang disertai kekerasan. Pada 8 Januari 2011, anggota Kongres dari Partai Demokrat Gabby Giffords terluka dalam penembakan di Arizona yang menyebabkan enam orang lainnya tewas. Kemudian pada 14 Juni 2017, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan selama sesi latihan untuk Pertandingan Bisbol Kongres tahunan, melukai Steve Scalise, pemimpin mayoritas DPR dari Partai Republik.

Kemudian 12 Agustus 2017, seorang aktivis supremasi kulit putih di kampanye sayap kanan di Charlottesville, Virginia menabrakkan mobilnya saat melakukan protes balasan, menewaskan satu orang. 6 Januari 2021, massa pendukung Trump menyerbu dan menggeledah US Capitol di Washington, DC, untuk mencegah pengesahan kemenangan Biden. Pada 28 Oktober 2022, seorang pria menyerbu rumah Ketua DPR dari Partai Demokrat Nancy Pelosi di California dan menyerang suaminya dengan palu, hingga membuatnya terluka parah.

Dalam survei terkini, dua dari tiga orang Amerika mengatakan mereka khawatir bahwa kekerasan politik dapat terjadi setelah pertarungan ulang pemilu pada tanggal 5 November antara Joe Biden dan pendahulu sekaligus penantangnya dari Partai Republik, Donald Trump, berdasarkan jajak pendapat Reuters/Ipsos yang baru.

Survei terhadap 3.934 orang dewasa Amerika menemukan kekhawatiran yang luas bahwa Amerika akan melihat terulangnya kerusuhan yang terjadi setelah kekalahan Trump pada pemilu 2020, ketika klaim palsu presiden saat itu bahwa kekalahannya adalah akibat penipuan mendorong ribuan pengikutnya menyerbu Gedung Capitol AS.

Trump belakangan menyiapkan landasan untuk menentang hasil pemilu jika ia kalah dari Biden untuk kedua kalinya. Dalam sebuah jajak pendapat daring, 68 persen responden – termasuk 83 persen dari Partai Demokrat dan 65 persen dari Partai Republik – mengatakan mereka setuju dengan pernyataan bahwa mereka khawatir para ekstremis akan melakukan kekerasan jika mereka tidak puas dengan hasil pemilu.

Secara keseluruhan, 15 persen responden tidak setuju dan 16 persen tidak yakin. Dalam wawancara baru-baru ini, Trump menolak berkomitmen menerima hasil pemilu dan dalam kampanyenya menggambarkan Partai Demokrat sebagai penipu.

photo
Aktivis Stephen Parlato dari Boulder, Colorado, kanan, bergabung dengan pengunjuk rasa lainnya di luar Mahkamah Agung saat para hakim bersiap mendengarkan argumen mengenai apakah Donald Trump kebal dari tuntutan dalam kasus yang menuduhnya berencana membatalkan hasil pemilihan presiden tahun 2020 di Capitol Hill di Washington, Kamis, 25 April 2024. - (AP Photo/J. Scott Applewhite)

Jajak pendapat baru yang dilakukan pada 7-14 Mei lalu menemukan bahwa Partai Republik lebih tidak percaya terhadap keadilan pemilu AS dibandingkan Partai Demokrat. Hanya 47 persen yang mengatakan mereka yakin bahwa hasil pemilu November akan akurat dan sah, dibandingkan dengan 87 persen anggota Partai Demokrat yang menyatakan keyakinannya. Survei ini memiliki margin kesalahan plus atau minus 2 poin persentase.

Meskipun lusinan kasus pengadilan menolak klaim penipuan Trump, presiden dan sekutunya melancarkan upaya luas untuk mencegah Kongres mengesahkan hasil pemilu, yang berpuncak pada serangan terhadap Capitol pada 6 Januari 2021. Seratus empat puluh petugas polisi terluka, satu meninggal keesokan harinya dan empat kemudian meninggal karena bunuh diri.

Lebih dari 1.400 orang telah ditangkap karena keterlibatan mereka dalam serangan itu dan lebih dari 500 diantaranya telah dijatuhi hukuman penjara, menurut Departemen Kehakiman AS, termasuk para pemimpin kelompok sayap kanan. Trump sendiri membantah tuduhan pidana yang diajukan di Washington DC dan Georgia.

Pelaporan Reuters baru-baru ini menunjukkan bahwa petugas pemilu, hakim, dan pejabat publik lainnya telah menghadapi gelombang ancaman dan pelecehan sejak tahun 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement