Senin 24 Jun 2024 16:12 WIB

Emamoli Rahmon, Hantu Komunisme, dan Larangan Jilbab Tajikistan

Presiden anti-Islam Tajikistan mengganti UU agar anaknya bisa maju pilpres.

Presiden Tajikistan Emomali Rahmon melihat ke meja bundar saat KTT China-Asia Tengah di Xian, provinsi Shaanxi, China, Jumat (19/5/2023).
Foto:

Perkembangan di Tajikistan, juga di Kyrgyzia, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan kala itu seolah mengubur prediksi pakar geopolitik di awal 90-an, mengenai kemungkinan kebangkitan Islam setelah keruntuhan komunisme Uni Soviet. Islam, sebagai ideologi dan ajaran yang telah mengakar sejak abad ke-8, ternyata telah kehilangan generasi yang melestarikannya. Yang tersisa adalah penggunaan kata Muslim pada istilah Muslim Soviet untuk mengidentifikasi masyarakat Tajik komunis. Serta membedakan mereka dari Muslim militan.

Iraj Bashiri, intelektual Tajik di Universitas Minnesota, mencatat kemunduran Islam di Tajikistan terjadi setelah Emirat Bukhara -- keemiran yang mempersatukan bangsa Uzbek dan Tajik -- gagal menahan serangan Tentara Merah Rusia 1920. Sejumlah mantan penguasa Tajik sempat meminta status otonomi khusus, dengan alasan suku dan agama, kepada Rusia, tapi ditolak. Di medan pertempuran, Tentara Merah Bolshevik berhasil menindas habis kelompok perlawanan Basmachi, Islam militan, di tahun 1923.

Sukses mengalahkan Basmachi membuka jalan bagi komunis Rusia untuk memulai serangan terhadap mayoritas Islam Sunni Hanafi dan minoritas Syiah Ismailiyah, mengampanyekan masyarakat anti-Tuhan, serta memainkan isu ancaman Turki terhadap bangsa Tajik. Bolshevik juga mengimpor kader-kadernya langsung dari Rusia dan mendirikan Organisasi Pemuda Atheis Tajikistan, serta memaksa masyarakat Tajik menerima bahasa Rusia sebagai bahasa resmi.

Semua pemaksaan itu terjadi tanpa perlawanan. Para mufti juga tidak melakukan apa-apa untuk melawan kampanye itu. Mereka juga tidak gusar ketika para jamaah di masjid-masjid kian berkurang, dan Bolshevik memiliki alasan untuk membongkar tempat ibadah itu. Bahkan, menurut Iraj Bashiri dalam Islam and Communism: Tajikistan in Transition, para ulama dan mufti itu disewa pejabat-pejabat Rusia dan menjadi agen pengembangan ajaran komunisme.

Perlahan tapi pasti, dan hanya dalam hitungan belasan tahun setelah 1920, masyarakat Tajik menerima komunisme sebagai gagasan masa depan, serta menempatkan Islam sebagai kultur dan ideologi nenek moyang yang sudah usang. Komunisme, khusus dalam kasus Tajikistan, dipandang sebagai solusi untuk menemukan kembali identitas kebangsaan. Serta merupakan penangkal kemungkinan kembalinya Turki.

Sebagai bagian tak terpisahkan Asia Tengah, kampanye anti-agama di Tajikistan juga sempat terpengaruh munculnya perlawanan di Uzbekistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan. Tahun 1940, merupakan tahun-tahun krusial bagi kampanye antiagama dan masyarakat anti-Tuhan.

Moskow segera mengubah programnya. Yaitu, menciptakan istilah Sovietized Muslim untuk mengidentifikasi masyarakat penganut komunis, dan menggunakan stigma Muslim militan untuk mereka yang cenderung bertahan pada ajaran Islam. Keduanya dibenturkan.

Tahun 1964, di era Nikita Kruschev, Sovietized Muslim memperoleh kemenangannya. Sebaliknya, Muslim militan terpuruk dan perlawanannya berakhir ketika banyak dari mereka menyembunyikan identitasnya. Tahun-tahun berikutnya, terhitung sampai 1980-an, Muslim Soviet menikmati kehidupannya di seluruh dataran rendah Tajikistan. Moskow membanjiri negeri jajahannya dengan segenap fasilitas entertainment, institut teknologi, pusat-pusat riset berbagai bidang ilmu, dan etos kerja yang tinggi di semua sektor industri. 

photo
Dari kiri di baris pertama, Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Kyrgyzstan Sadyr Japarov mengunjungi Museum dan Cagar Alam Negara Peterhof di St. Petersburg, Rusia, Selasa, 26 Desember 2023. - (AP Photo/Pavel Bednyakov)

Bubarnya Uni Soviet di penghujung tahun 1991 memang mengantarkan lagi lahirnya sekitar 15 negara baru, yang lima diantaranya mayoritas penduduknya beragama Islam. Kelimanya itu berada di wilayah Asia Tengah, yaitu Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sebagai negara baru, salah satu persoalan yang dihadapi adalah berkenaan dengan pencarian model sistem dan kultur politik. Memang terdapat petunjuk kuat bahwa umat Islam mulai bangkit, setelah sekitar 70 tahun ditindas habis-habisan oleh rezim komunis Uni Soviet. Namun demikian berbagai kendala menghadang di depannya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.

Sementara cengkeraman Emoli Ramon makin kuat di Tajikistan. Pada 22 Mei 2016, referendum nasional menyetujui sejumlah perubahan konstitusi negara. Salah satu perubahan utama menghapuskan batas masa jabatan presiden, yang secara efektif memungkinkan Rahmon untuk tetap berkuasa selama masa jabatan yang ia inginkan. 

Perubahan penting lainnya melarang partai politik berbasis agama, sehingga menyelesaikan penghapusan Partai Kebangkitan Islam yang dilarang dari politik Tajikistan, dan mengurangi usia minimum untuk calon presiden dari 35 menjadi 30 tahun, sehingga memungkinkan putra sulung Rahmon, Rustam Emomali, untuk mencalonkan diri sebagai presiden kapan saja setelah tahun 2017.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement