REPUBLIKA.CO.ID, DUSHANBE – Kebijakan anti-Islam di Tajikistan tak lepas dari tangan besi presidennya, Emomali Rahmon. Politikus berusia 71 tahun yang sempat lama menjadi pejabat rezim komunis Uni Soviet itu sejak awal sudah bersengketa dengan umat Islam yang merupakan 98 persen populasi Tajikistan.
Wartawan senior Republika Teguh Setiawan menulis pada 2001, saat itu lebih 95 persen dari 5,5 juta penduduk Tajikistan menyebut dirinya Muslim. Tapi, hanya 10 persen yang secara reguler mengikuti praktek ritual Islam; shalat lima waktu, shalat Jumat di masjid-masjid, dan menaati larangan agamanya (Freedom of Religion, Laporan Departemen Luar Negeri AS 1997).
Tahun 1990, beberapa saat setelah imperium Uni Soviet runtuh dan negara-negara Asia Tengah melepaskan diri dari Moskow, Presiden Tajikistan Emomali Rahmanov yang kini berganti nama menjadi Emomali Rahmon menggunakan Islam sebagai alat diplomasi untuk mendekati negara-negara berpenduduk Muslim dan Arab. Bahkan di tahun 1993, dua minggu sebelum berkunjung ke Arab Saudi, sang presiden bersedia masuk Islam dan secara kilat mempelajari agama nenek moyangnya itu.
Hasilnya, ia mengantongi bantuan tunai 30 juta dolar AS untuk membiayai proyek-proyek sosial dan keagamaan di negaranya. Sepulang dari Riyadh, Rahmon menemukan pemerintahannya dalam keadaan sekarat.
Kelompok Islam, tanpa atau dengan bantuan Taliban Afghanistan, memperoleh kemajuan di sejumlah medan pertempuran. Rahmon bertindak cepat, dan menggunakan bantuan itu untuk membiayai perang demi mempertahankan pemerintahan sekuler, lebih tepatnya atheis, warisan Soviet. Hanya sedikit saja dari uang itu yang ia gunakan untuk membiayai proyek sosial dan keagamaan.
Laporan Departemen Luar Negeri AS menyebutkan, Rahmon juga tidak segan-segan mengampanyekan Islam -- fundamentalis atau bukan -- sebagai ancaman pemerintah dan masyarakat. Ia mengundang pasukan Rusia memasuki negerinya setelah terjadi insiden yang menewaskan sejumlah penduduk keturunan Rusia dan Slav.
Meski dikritik banyak negara Arab, Rahmon relatif berhasil memperlambat perkembangan Islam fundamentalis. Puncaknya terjadi ketika di tahun 1997 terjadi kesepakatan damai antara sejumlah partai berorientasi Islam dan pemerintah. Tapi di tahun 1988, Rahmon memaksa parlemen untuk meloloskan undang-undang yang melarang pendirian partai berorientasi Islam.
Secara terbuka, Rahmon tidak melarang masuknya misionaris Kristen. Ini terlihat dari tidak adanya kasus pelecehan yang dialami misionaris Kristen Korea, India, dan dari negara lain. Tapi Rahmon mengaktifkan kepolisiannya untuk memantau setiap pergerakan misionaris Islam.
Di Dushanbe, ibukota Tajikistan, pemerintah dengan tegas melarang misionaris Islam memasuki dan berbicara di dalam masjid. Pemerintah juga tidak segan-segan mendeportasi mereka, seperti yang dilakukan terhadap sejumlah misionaris Islam dari Afghanistan sepanjang 1988.
Rezim komunis Rahmon juga menerapkan sejumlah pembatasan ekstra-judisial. Misal, walikota Dushanbe melarang penggunaan pengeras suara untuk menyuarakan adzan di masjid-masjid. Terdapat juga laporan, menurut Departemen Luar Negeri AS, larangan bagi anggota Partai Kebangkitan Islam (IRP) memasuki dan berbicara di masjid-masjid. Terutama pada shalat Jumat.
Pelarangan ini memang tidak berlaku bagi semua wilayah provinsi dan distrik, tapi terdapat kecenderungan diterapkan di seluruh negeri. Larangan ini lebih merefleksikan sentimen politis ketimbang perbedaan dalam agama Islam. Di Isfara, dipicu tuduhan bahwa sejumlah sekolah swasta dikelola separatis Uzbek, pemerintah melarang penggunaan bahasa Arab di sekolah-sekolah yang tidak dikelola pemerintah. Padahal, tidak ada dampak politik apa pun dalam penerapan bahasa Arab di sekolah-sekolah.
Kalender nasional Tajikistan juga tidak memberi warna merah pada dua hari besar umat Islam; Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, pemerintah kerap kali mengumumkannya sebagai Hari Libur Nasional. Kekhawatiran akan infiltrasi Islam dari luar, terutama dari Afghanistan dan Arab Saudi, membuat rezim Rahmon merasa perlu membatasi rakyatnya menunaikan ibadah haji. Sejak 1988, Dushanbe menerapkan sistem kuota, yang menyebabkan terjadinya korupsi besar-besaran dalam penyelenggaraan pemberangkatan ibadah haji.
Semua pemberangkatan harus dikoordinir pemerintah, dan menggunakan sarana transportasi negara. Tidak boleh pergi haji sendiri-sendiri, atau kelompok-kelompok di luar yang diatur pemerintah. Sejauh ini pemerintah memang tidak melarang pendistribusian dan penjualan Alquran.
Namun, lembaga penerbitan pemerintah dan swasta dilarang menerbitkan apa pun dalam bahasa Arab, atau mempublikasikan literatur Arab. Sebagai gantinya, pemerintah mencetak Alquran dalam dua versi; Cyrillic dan Arab di Iran, dan didistribusikan lewat toko buku Iran di Dushanbe.
Hantu komunisme di Asia Tengah... baca halaman selanjutnya