Jumat 31 May 2024 17:35 WIB

Tiga Cara Industri Tembakau Intervensi Aturan yang Berupaya Lindungi Anak-Anak dari Rokok

Kekuatan lobi industri rokok dinilai membuat upaya perlindungan anak terpinggirkan.

Stiker larangan merokok terpasang di rumah warga di Depok, Jawa Barat. Hari tanpa tembakau sedunia diperingati setiap 31 Mei setiap tahunnya.
Foto:

Ketua Lentera Anak Lisda Sundari menambahkan, persoalan perlindungan anak dari rokok akan selalu menjadi agenda tak terselesaikan sepanjang pimpinan negara tidak punya komitmen untuk melindungi anak dari paparan rokok dan dari target pemasaran industri rokok. Dia mencatat ada enam tuntutan industri tembakau terhadap RPP Kesehatan.

Tiga tuntutan diantaranya terkait dengan perlindungan anak, yakni tuntutan untuk menolak larangan menjual rokok secara eceran, menolak pelarangan total iklan, promosi dan sponsor rokok, serta menolak larangan memajang produk rokok di tempat penjualan.

“Tiga hal yang ditolak industri tersebut jelas-jelas adalah aturan yang bertujuan melindungi anak dari dampak rokok dan dari target pemasaran rokok yang masif dan manipulatif,” terang dia.

Menurut dia, sudah banyak studi yang pihaknya sampaikan terkait dampak iklan, promosi dan sponsor rokok serta dampak bebasnya penjualan rokok eceran terhadap anak. Tapi, industri secara tegas menolak regulasi yang bertujuan melindungi anak tersebut.

Di sinilah, kata Lisda, masyarakat sangat membutuhkan komitmen pemerintah untuk mau menolak tegas segala bentuk intervensi yang berpotensi mengancam perlindungan anak.

“Karena itu kita berharap banyak, melalui tema HTTS tahun ini, masyarakat menyeru pemerintah untuk mau menolak segala bentuk intervensi terhadap regulasi pengendalian tembakau di Indonesia” lanjut dia.

Lisda juga menyampaikan rapor merah pemerintah dalam perlindungan anak dari rokok, berdasarkan suara anak Indonesia terhadap permasalahan rokok. Dia menilai pemerintah tidak mempedulikan suara anak Indonesia yang disampaikan kepada Presiden setiap tahun pada perayaan hari Anak Nasional tanggal 23 Juli. 

“Kami mencatat bahwa sejak tahun 2016, suara anak Indonesia sudah meminta untuk dijauhkan dari rokok. Dan yang menarik, hingga tahun 2023, permintaan itu disuarakan secara konsisten, bahkan permintaan untuk memperkuat regulasi perlindungan anak dari rokok semakin menguat,” kata Lisda. 

Ada lima hal utama yang disuarakan anak Indonesia dalam “Suara Anak”, yakni penguatan KTR, pelarangan penjualan rokok eceran, pelarangan total iklan, promosi dan sponsor rokok, edukasi yang kuat tentang bahaya rokok, dan pengaturan rokok elektronik.

Dari lima hal utama yang disuarakan anak Indonesia, Lisda menilai pemerintah tidak punya kepedulian dan mengakomodir suara anak tersebut. Rapor merah utama khususnya untuk pengaturan iklan, promosi dan sponsor rokok, karena belum ada regulasi yang kuat terkait hal ini. Karena itu, pihaknya memberi rapor merah kepada pemerintah terhadap upaya perlindungan anak dari bahaya adiktif nikotin.

Menurut dia, jika pemerintah mau mengacu kepada Konvensi Hak Anak, pemerintah harus lebih mendukung suara anak dan berani menolak campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan.  

“Jika pemerintah terus mengakomodir kepentingan industri yang berorientasi pada profit, maka perlindungan kesehatan anak tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun. Inilah yang saya sebut sebagai unfinished agenda,” kata Lisda.

Berbicara terpisah, perwakilan dari Visi Integritas Nusantara, Adnan Topan Husodo  menyatakan, kebijakan publik di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh kepentingan swasta dan korupsi. Di mana itu kerap disebut sebagai state capture, yakni sektor swasta lebih menentukan arah kebijakan daripada masyarakat umum.  

”Hal ini terjadi di berbagai sektor, termasuk kesehatan dan perubahan iklim. Banyak kebijakan diputuskan tanpa partisipasi publik yang berarti, seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law. Hubungan erat antara pengusaha dan pejabat publik memperburuk keadaan, dengan banyak pejabat memiliki rangkap jabatan atau beralih ke sektor swasta tanpa jeda waktu yang memadai,” kata dia. 

Menurut dia, mekanisme lobi juga tidak diatur dengan baik, dan itu menyebabkan tradisi suap dan gratifikasi. Untuk mengatasi masalah itu, kata dia, perlu ada penguatan aturan konflik kepentingan dan transparansi dalam proses lobi, serta advokasi kebijakan yang lebih luas melalui media sosial mengingat media tradisional hanya mencakup sebagian kecil informasi yang diakses masyarakat.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement