Jumat 24 May 2024 23:12 WIB

RUU Penyiaran Dianggap Berpotensi Bungkam Pers

Menurut Fajar kehidupan pers yang independen merupakan roh dan pilar demokrasi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Seorang wartawan meletakkan kartu identitasnya saat menggelar aksi tolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, Kamis (16/5/2024). Wartawan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menolak RUU Penyiaran karena sejumlah pasal di dalamnya mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Foto: ANTARA FOTO/Seno
Seorang wartawan meletakkan kartu identitasnya saat menggelar aksi tolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, Kamis (16/5/2024). Wartawan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menolak RUU Penyiaran karena sejumlah pasal di dalamnya mengancam kebebasan pers di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) prihatin terkait revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Dalam konferensi pers yang digelar Jumat (24/5/2024) pagi tadi, Kaprodi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi mengatakan pengesahan revisi UU ini sangat berpotensi membungkam kebebasan pers Indonesia di masa mendatang.

Menurut Fajar kehidupan pers yang independen merupakan roh dan pilar demokrasi yang sehat. Dirinya mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi UU Penyiaran. 

Baca Juga

Fajar menekankan pentingnya melibatkan lebih banyak masyarakat sipil dalam perancangan revisi UU Penyiaran untuk memastikan bahwa semua pihak yang terdampak dapat memberikan masukan dan terlibat secara aktif dalam proses legislasi. "Berbagai pihak seperti jurnalis, peneliti yang berkaitan dengan riset media, akademisi dan berbagai kalangan harus dilibatkan dalam revisi ini," kata Fajar dalam pernyataan sikapnya mewakili segenap sivitas akademika Ilmu Komunikasi UMY.

Menurutnya dihilangkannya partisipasi publik membuat pembahasan ini sangat top-down. "Undang-undang dibentuk oleh elit politik dan masyarakat sipil hanya diminta untuk mengikuti. Hal itu terlihat dari minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh DPR" tuturnya. 

Fajar menuturkan, proses revisi undang-undang ini seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian karena mengatur tentang penggunaan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas. Hal lain yang meresahkan adalah revisi ini juga mencakup regulasi terhadap konten digital yang bukan frekuensi publik. Menurutnya berbagai pengaturan ini berpotensi mengundang intervensi pemerintah pada ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi diskusi publik.

Sementara itu, pada aspek isi, Fajar menilai bahwa terdapat beberapa pasal yang dapat menghalangi kebebasan pers Indonesia seperti adanya larangan konten jurnalisme investigasi. Padahal jurnalisme investigasi merupakan salah satu strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate). 

Demikian juga pasal yang menyatakan bahwa konten siarah di internet harus patuh pada Standar Isi Siaran (SIS), dan KPI diberikan wewenang untuk melakukan penyensoran di media sosial Ancaman lain bahwa pemberitaan di media dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Poin ini sangat mengancam kemerdekaan pers di Indonesia

Masalah lain yang ditemukan adalah tumpang tindihnya kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan institusi lain, seperti Dewan Pers dalam mengatasi sengketa produk jurnalistik. Padahal selama ini berita dalam bentuk apapun, baik cetak, elektronik, serta digital adalah produk jurnalistik dan merupakan kewenangan Dewan Pers. Hal tersebut termaktub dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Tidak hanya itu, beberapa pasal juga mengisyaratkan tidak adanya pembatasan pada kepemilikan LPS (Lembaga Penyiaran Swasta). Hal ini membuat dominasi kepemilikan pada pihak-pihak tertentu semakin tinggi dan membuat industri penyiaran sangat homogen dan terpusat. Berbagai situasi ini, menurut Fajar, menunjukan adanya persoalan serius dalam revisi UU Penyiaran yang berpotensi merugikan publik.

Ia berharap kritik dan saran yang disampaikan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UMY dapat menjadi pertimbangan dalam diskusi lebih lanjut mengenai revisi UU Penyiaran di DPR RI.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement