REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan peletakan batu pertama proyek “Pusat Internasional untuk Penelitian Mangrove Mohamed bin Zayed - Joko Widodo” bekerja sama dengan Republik Indonesia di pulau Bali, yang bertujuan untuk memperkuat upaya global dalam mengembangkan mangrove, yang merupakan salah satu solusi terpenting dalam menghadapi perubahan iklim dan melindungi ekosistem lingkungan di kawasan pesisir.
Hal ini disampaikan dalam acara yang diadakan hari ini di Bali, yang dihadiri oleh H.E. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia; H.E. Suhail Mohamed Faraj Faris Al Mazrouei, Menteri Energi dan Infrastruktur UEA sekaligus Utusan Khusus untuk Menteri Luar Negeri Republik Indonesia; H.E. Dr. Amna bint Abdullah Al Dahhak, Menteri Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup UEA; H.E. Abdulla Balalaa, Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Energi dan Keberlanjutan UEA; dan H.E. Abdulla Salem AlDhaheri, Duta Besar UEA untuk Republik Indonesia, Republik Timor Leste, dan ASEAN, serta sejumlah pejabat tinggi dari kedua negara.
Pusat Internasional untuk Penelitian Mangrove Mohamed bin Zayed-Joko Widodo ini merupakan salah satu kontribusi terpenting UEA dalam memperkuat kelestarian iklim dan lingkungan di dunia serta melindungi planet ini dari dampak perubahan iklim. Lembaga ini juga menggambarkan kuatnya hubungan strategis antara UEA dan Indonesia dalam berbagai bidang yang penting, terutama dalam memajukan sistem pembangunan berkelanjutan dan menyatukan upaya untuk menciptakan masa depan berkelanjutan bagi kedua negara.
H.E. Suhail Mohamed Al Mazrouei, Menteri Energi dan Infrastruktur UEA sekaligus Utusan Khusus untuk Menteri Luar Negeri Republik Indonesia menegaskan bahwa proyek Pusat Penelitian Internasional Mangrove Mohamed bin Zayed-Joko Widodo adalah sebuah langkah penting untuk menguatkan kerja sama internasional di bidang penelitian lingkungan, karena proyek ini mencerminkan komitmen UEA untuk melindungi lingkungan, khususnya ekosistem sensitif seperti mangrove.
Menteri Suhail menjelaskan bahwa proyek ini dilakukan dalam kerangka upaya UEA dalam menghadapi perubahan iklim, dan akan berkontribusi dalam mengembangkan strategi yang diperlukan untuk melestarikan lingkungan. Lembaga ini juga akan menjadi platform bagi para ilmuwan dan peneliti untuk bekerja sama serta bertukar pengalaman dan pengetahuan, yang akan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi tantangan lingkungan saat ini dan di masa depan.
Menteri Suhail mengatakan, “Proyek Pusat Penelitian Mangrove Mohamed bin Zayed-Joko Widodo mendukung kebijakan UEA yang sejalan dengan tujuan Konferensi COP28, yang fokus pada memperkuat upaya global dalam menghadapi perubahan iklim dan mewujudkan kelestarian lingkungan. Lembaga ini juga menggambarkan komitmen UEA untuk memimpin inisiatif lingkungan hidup dan menguatkan kerja sama antarnegara dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan."
Dalam hal ini, Yang Mulia Dr. Amna bint Abdullah Al Dahhak menegaskan bahwa UEA, di bawah kepemimpinan Yang Mulia Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Presiden UEA sangat ingin berkontribusi dan berperan aktif dalam menemukan solusi praktis untuk melindungi lingkungan dan mendukung upaya keberlanjutan bagi seluruh warga dunia.
Menteri Amna menjelaskan, “Lembaga ini mewakili salah satu kontribusi terpenting UEA dalam kerjasamanya dengan Indonesia untuk mempromosikan solusi berbasis alam dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim di kedua negara dan dunia, karena hutan mangrove merupakan penyimpanan karbon alami yang mendukung berbagai solusi teknologi untuk mengurangi emisi karbon."
Lebih lanjut, Menteri Amna menambahkan bahwa lembaga ini mendukung upaya penyebaran lebih banyak lagi pohon mangrove secara global, terutama di UEA, yang berencana untuk menanam 100 juta pohon bakau pada tahun 2030, selain juga Indonesia yang memiliki hutan bakau terbesar dan paling beragam di dunia.
Dia menambahkan, “Mengingat penurunan signifikan hutan mangrove di dunia, UEA menyadari bahwa kehilangan lebih banyak hutan mangrove akan menyebabkan dampak perubahan iklim menjadi lebih parah, seperti terjadinya lebih banyak banjir dan badai serta ancaman kepada masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Lembaga ini akan berupaya mencari solusi untuk menghentikan kerugian akibat hilangnya kekayaan lingkungan ini, lalu berupaya mengembangkannya kembali di dunia, sebagai bentuk kontribusi dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat dunia."
Menteri Amna menyatakan bahwa Pusat Penelitian Internasional Mangrove Mohamed bin Zayed-Joko Widodo merupakan tambahan penting bagi upaya global dalam rangka meningkatkan penyebaran hutan mangrove, terutama Mangrove Alliance for Climate yang diluncurkan oleh UEA bekerja sama dengan Republik Indonesia dan 41 negara di seluruh dunia, selain juga Mangrove Development Initiative yang merupakan upaya kolaboratif antara Global Mangrove Alliance dan para pemimpin urusan iklim di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pusat Penelitian Internasional Mangrove Mohamed bin Zayed-Joko Widodo akan dibangun di atas lahan seluas 2,5 hektar, dengan berbagai infrastruktur pendukung, antara lain jalan, listrik, dan air. Lembaga ini akan berada di Taman Hutan Raya Ngurah Rai di provinsi Bali, sebuah taman yang terbentang di lahan seluas 1.158,44 hektar yang merupakan ekosistem mangrove dan terletak di sekitar Teluk Benoa.
Lembaga ini bertujuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam upaya mengembangkan pohon mangrove, meningkatkan perannya sebagai penyimpan karbon alami, menghadapi perubahan iklim, dan meningkatkan lingkungan alami di kawasan pesisir, dan mengembangkan keanekaragaman hayati. Selain itu, lembaga ini juga akan berupaya meningkatkan pertukaran pengetahuan di bidang pengembangan pohon mangrove dengan berbagai negara untuk mengkompensasi hilangnya jenis pohon yang penting ini bagi ekosistem lingkungan.
Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem yang paling produktif dan penting bagi lingkungan di muka bumi. Mangrove mampu menyimpan karbon hingga 400 persen lebih cepat dibandingkan hutan hujan tropis. Hutan ini menyerap emisi dan melindungi lingkungan pesisir, dimana 80% populasi ikan global bergantung pada ekosistem mangrove yang sehat.
Patut dicatat bahwa pendirian pusat penelitian mangrove ini diumumkan untuk pertama kalinya pada Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP28), yang diselenggarakan di UEA tahun lalu.