Kamis 16 May 2024 20:18 WIB

Pakar IPB: Perubahan Iklim Membuat Hutan Amazon di Ambang Kehancuran  

Kerusakan hutan Amazon akibat aktivitas manusia ini seharusnya menjadi pelajaran.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Muhammad Hafil
Perahu-perahu kecil bersandar di tepi sungai Tapajos di negara bagian Alter do Chao Para, Brasil, 26 Agustus 2020. Otoritas lingkungan Brasil memberikan izin awal yang akan memungkinkan jalan raya utama diaspal melalui pusat hutan hujan Amazon, Kamis (28/7/2022).
Foto: AP Photo/Andre Penner
Perahu-perahu kecil bersandar di tepi sungai Tapajos di negara bagian Alter do Chao Para, Brasil, 26 Agustus 2020. Otoritas lingkungan Brasil memberikan izin awal yang akan memungkinkan jalan raya utama diaspal melalui pusat hutan hujan Amazon, Kamis (28/7/2022).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kawasan hutan Amazon dikenal sebagai paru-paru dunia yang diperkirakan dapat menampung 150 miliar karbon serta menjadi hot spot keanekaragaman hayati dan hewani dunia. Seiring dengan perubahan iklim yang berdampak pada kekeringan ekstrim, keberadaan dan fungsi hutan Amazon akan terus mengalami degradasi dan bahkan lenyap dari bumi jika tidak ada upaya pencegahan yang menyeluruh, demikian kata pakar Genetika Ekologi dari IPB University Prof Ronny Rachman Noor.

Prof Ronny menjelaskan bahwa penyebab utama kehancuran ekosistem hutan Amazon adalah aktivitas manusia yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek seperti masuknya perusahaan raksasa pertambangan, pertanian dan peternakan yang menyisakan sengsara dan nestapa bagi penduduk asli yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan tropis ini.

Baca Juga

“Kerusakan hutan dalam skala besar yang telah terjadi puluhan tahun ini dikombinasikan dengan kekeringan menjadikan hutan Amazon diambang kehancuran yang tidak akan pernah terpulihkan kembali,” kata Prof Ronny dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (16/5/2024).

Prof Ronny menjelaskan bahwa di tahun 2015 hutan Amazon pernah dilanda kekeringan sangat parah yang berdampak pada kematian 2,5 miliar pohon dan tanaman serta satwa liar.

Menurut dia, kawasan hutan Amazon menciptakan iklim yang sangat unik di wilayahnya karena air yang menguap dari pepohonan ini membentuk awan hujan dan mendaur ulang kelembaban yang menyebabkan hutan tetap sejuk dan lembab, sekaligus menyediakan air yang sangat vital bagi kehidupan satwa dan juga penduduk yang menggantungkan kehidupannya pada hutan tropis ini.

“Kerusakan hutan yang terjadi selama ini membuat hutan terfragmentasi akibat kekeringan dan sebagian telah berubah menjadi savana yang mulai memecah hutan tropis ini. Kematian flora dan fauna hutan tidak akan dapat dipulihkan kembali dan berdampak pada kerusakan permanen,” kata prof Ronny.

Prof Ronny mengatakan, jika tingkat deforestasi hutan Amazon sudah mencapai 25 persen dan mengalami peningkatan suhu rata rata periode pra industri, maka hutan Amazon sudah dalam keadaan kritis. Kondisi saat ini tampaknya sudah mengarah ke titik kritis karena saat ini 17 persen hutan Amazon telah digunduli dan suhu global berada di atas suhu pra industri.

“Data empiris menunjukkan bahwa kekeringan ekstrim tahun ini memicu kebakaran hutan akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali. Disamping itu tingkat kematian satwa liar seperti lumba lumba yang menghuni danau di Amazon semakin meningkat akibat suhu air mencapai 40,9 derajat celcius,” kata dia.

Menurut Prof Ronny, kekeringan ekstrim yang menimpa Amazon ini telah berdampak langsung pada kehidupan penduduk yang tinggal di kawasan ini karena sumber air dan pangan berkurang drastis hingga terganggunya transportasi akibat sungai yang mengering.

“Kerusakan hutan Amazon akibat aktivitas manusia ini seharusnya dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia karena terdegradasinya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati dan hewan ini akan berdampak pada kelangsungan hidup generasi mendatang,” jelas Prof Ronny.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement