Rabu 15 May 2024 19:08 WIB

Fraksi PKS Sebut yang Dilarang di RUU Penyiaran adalah Infotainment yang Disiarkan Masif

Ada poin larangan jurnalistik investigatif di RUU Penyiaran.

Rep: Eva RiantiĀ / Red: Andri Saubani
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta.
Foto: istimewa
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Larangan konten jurnalistik investigasi yang tertera dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menimbulkan polemik. PKS menyebut konten yang dilarang adalah yang bernilai infotainment dan disiarkan secara masif.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menjelaskan bahwa yang diatur dalam beleid tersebut bukanlah merupakan jurnalisme investigasi yang terkait dengan pendalaman terhadap suatu kriminal tertentu. Misalnya membongkar bisnis makanan yang tidak sehat, judi online, dan sindikat narkoba.

Baca Juga

“Yang dimaksud (larangan konten) itu adalah penggunaan frekuensi publik untuk penyiaran gosip dengan hak eksklusif. Misalnya ada artis nikah terus disiarkan berhari-hari secara eksklusif menggunakan frekuensi publik. Itu yang diatur,” kata Sukamta dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (15/5/2024).

Sukamta mengatakan, PKS akan terus mengawal beleid tersebut. Dia menyebut, jika memang nantinya ada pelarangan yang arahnya pada jurnalistik investigasi semisal pengungkapan kriminal, dia memastikan PKS bakal menolaknya.

“Tapi kalau yang dimaksud adalah larangan terhadap jurnalisme untuk melakukan investigasi, saya kira itu tidak pas, dan kalau itu terjadi ya nanti kami akan menentang itu ya,” tuturnya.  

Sukamta juga menerangkan mengenai perselisihan terhadap suatu pemberitaan yang dilayangkan salah satu pihak. Dia menyebut selama ini jika ada perselisihan antara media penyiaran dengan seseorang atau satu pihak, mekanisme penyelesaiannya dapat dilakukan dengan du acara, yakni melalui hak jawab dan jika masih berperkara dapat dilanjutkan ke pengadilan.

Sehingga, dia melanjutkan, jika proses penyelesaian perselisihan hanya dilakukan dengan dua cara tersebut, seringkali yang terjadi selama ini adalah benturan antara kedua belah pihak. Menurutnya, dibutuhkan adanya mekanisme mediasi diantara hak jawab dan pengadilan.

“Siapa yang diberi kewenangan mediasi? Karena ini babnya adalah soal penyiaran, kita berpikir KPI yang paling pas untuk diberikan kewenangan sebagai mediator di situ,” ujar dia.

Dengan mekanisme seperti itu, Sukamta menjamin kewenangan Dewan Pers tidak akan terganggu karena fungsi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya terkait dengan penyiaran.

“Mungkin nanti kalau penyiaran ini sebagai bagian dari media, saya kira perlu diskusi Dewan Pers dengan Komisi I ya supaya ada solusi untuk kasus di penyiaran. Apakah misalnya perlu Lex Spesialis ya. Nah mudah-mudahan lebih jelas,” kata dia.

Sebelumnya diketahui, revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran banyak mengalami penolakan dari masyarakat. Revisi yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis karena ada pelarangan jurnalistik investigasi.

Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran per Maret 2024, tertulis dalam Pasal 50B ayat 2 bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat larangan mengenai isi siaran dan konten siaran terkait narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian (poin a). Lalu isi siaran dan konten siaran terkait rokok (poin b), serta penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (poin c).

Kemudian, penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat (poin d), penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan (poin e). Juga penayangan yang mengandung unsur mistik (poin f), konten yang menyajikan perilaku LGBT (poin g).

Lalu, mengenai penayangan pengobatan supranatural (poin h), penayangan rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui Lembaga Penyiaran dan Penyelenggara Platform Digital Penyiaran (poin i). Konten yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola Lembaga Penyiaran dan Penyelenggara Platform Digital Penyiaran (poin j), serta penayangan yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme (poin k). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement