Selasa 23 Apr 2024 16:27 WIB

Pengamat Ungkap Tantangan Jakarta Usai tak Jadi Ibu Kota

Pengamat mengungkap tantangan Jakarta sesuai tidak lagi menjadi ibu kota.

DKI Jakarta (Ilustrasi). Pengamat mengungkap tantangan Jakarta sesuai tidak lagi menjadi ibu kota.
Foto: republika
DKI Jakarta (Ilustrasi). Pengamat mengungkap tantangan Jakarta sesuai tidak lagi menjadi ibu kota.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU). Dalam UU DKJ, terdapat amanat pembangunan kawasan aglomerasi sebagai penunjang Jakarta menuju kota perekonomian global.

Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, upaya membangun kawasan aglomerasi yang kuat membutuhkan lebih dari sekadar infrastruktur fisik. Salah satu komponen krusial adalah ketersediaan data dan fakta yang kuat sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.

Baca Juga

“Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, harus membangun keberlanjutan engine ekonominya agar mampu menghadapi tantangan masa depan,” kata dia dalam keterangan pers, Selasa (23/4/2024).

Menurut Yayat, penting untuk memperlakukan kota dan wilayah sekitar sebagai satu kesatuan yang utuh dalam konteks pengembangan Jakarta. Artinya, wilayah-wilayah itu tak bisa dianggap sebagai entitas terpisah. Itu diperlukan untuk menciptakan ekosistem wilayah dan ekonomi yang saling mendukung satu sama lain.

“Tanpa adanya kerja sama antara Jakarta dan kota-kota sekitarnya, akan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata dia.

Yayat menambahkan, penting bagi Jakarta untuk mengetahui tantangan dalam mempersiapkan mesin ekonominya. Pasalnya, kota-kota yang gagal melakukan persiapan tersebut akan mengalami kerapuhan dalam daya dukung pertumbuhan ekonominya.

Ia menilai, salah satu isu besar yang harus dihadapi adalah menentukan arah pembangunan ekonomi Jakarta. "Apa yang sebenarnya ingin kita bangun dengan ekonomi Jakarta? Apa kekuatan yang dapat membuat Jakarta tampil di panggung dunia?” kata dia.

Meskipun tidak memiliki sumber daya alam seperti timah dan nikel maupun sawit sebagai penghasil uang, Jakarta disebut memiliki kekuatan dalam bentuk ruang dan sumber daya manusia yang berpotensi besar. Namun, Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun 2021-2023 menunjukkan bahwa Jakarta masih sangat bergantung pada sektor perdagangan eceran dan layanan transportasi, terutama pada penjualan dan reparasi mobil maupun motor.

Selain itu, lanjut Yayat, kekuatan utama Jakarta terletak pada sektor jasa keuangan, asuransi, dan aktivitas perusahaan. Hal ini menjadi lebih menarik karena ini membuat Jakarta tidak bergantung pada kota-kota sekitarnya dalam sektor-sektor ini.

Yayat melihat, misi tersebut bukan tanpa tantangan. Menurut dia, ada kekhawatiran bahwa sektor perdagangan besar yang memonopoli sektor ritel dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

“Terdapat dua korporat besar yang mendominasi perkampungan ritel di Jakarta, sehingga dapat menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi di antara penduduknya,” kata dia.

Tantangan lainnya adalah kemacetan yang sudah menjadi penyakit akut berpuluh tahun. Masalah kemacetan dinilai harus menjadi perhatian serius yang tidak akan terselesaikan dengan hanya mengubah status Jakarta.

Karena itu, Yayat menggarisbawahi bahwa membangun kawasan aglomerasi membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak terkait, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat secara keseluruhan.

“Dengan memanfaatkan potensi dan kekuatan yang dimiliki Jakarta dan kota-kota sekitarnya secara optimal, DKJ dan Kawasan Aglomerasi nantinya dapat menjadi kawasan perkotaan yang tidak hanya tangguh secara ekonomi tetapi juga berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh penduduknya,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement