REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah aroma politik di balik penetapan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali, sebagai tersangka. Gus Muhdlor terjerat kasus potek insentif pegawai BPPD Sidoarjo.
Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan lembaga antirasuah tak terpengaruh dengan tudingan politisasi perkara Gus Muhdlor. Ali menjamin penetapan status tersangka terhadap Gus Muhdlor merupakan bagian dari penegakan hukum.
"Kami tidak akan terpengaruh dengan opini semacam itu. Kacamata kami murni penegakan hukum, dan itu sudah pasti," kata Ali kepada wartawan, Rabu (17/4/2024).
Ali mengajak publik memperhatikan kasus di Pemkab Sidoarjo ini sejak awal penanganan. Ali mengingatkan kasus ini diproses KPK sebelum penyelenggaraan Pilpres 2024. "Silakan bisa cek saja perjalanan perkaranya dari laporan masyarakat yang diterima KPK sebelum hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia," ujar Ali.
Ali menegaskan laporan itu terus dikembangkan oleh KPK tanpa memperhatikan kondisi politik nasional. Hasilnya, kini Gus Muhdlor ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK merasa ada cukup bukti. "Hingga hari ini kami selesaikan laporan tersebut," ujar Ali.
Di sisi lain, para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mengamati adanya kejanggalan atas penetapan Gus Muhdlor sebagai tersangka oleh KPK. IM57+ Institute mengkritisi KPK yang terlalu lama mentersangkakan Gus Muhdlor. Apalagi Gus Muhdlor sempat "hilang" saat Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Pertanyaannya mengapa pasca-OTT, alih-alih menetapkan bupati jadi tersangka malah penetapan dilakukan terhadap pelaku lapangan dengan level jabatan yang tidak tinggi," kata Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha dalam keterangannya pada Selasa (16/4/2024).
Padahal pasca OTT, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sudah menjelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dalam perkara ini justru guna kepentingan pemenuhan kebutuhan Bupati Sidoarjo. Sehingga Praswad mempertanyakan Gus Muhdlor tak ditahan sejak saat itu.
"Artinya penyidik sudah memiliki bukti permulaan yang memadai sampai pimpinan KPK berani mengeluarkan statement tersebut," ujar Praswad.
Oleh karena itu, Praswad sebenarnya mengendus kejanggalan dari kacamata penyidikan. Penetapan tersangka ini pun dilakukan pasca Pilpres 2024. Gus Muhdlor sempat mengkampanyekan pasangan Prabowo-Gibran.
"Selama pilpres, pasca OTT yang tidak menetapkan bupati sebagai tersangka, Bupati Sidoarjo gencar kampanye untuk pasangan calon yang didukung oleh Presiden," ujar Praswad.
Dalam kasus pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di lingkungan BPPD Sidoarjo ini, awalnya baru ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya ialah Siska Wati (Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD, Sidoarjo), dan Ari Suyono (Kepala BPPD, Sidoarjo).
Dalam konstruksi perkaranya, bahwa pada tahun 2023, BPPD Sidoarjo memperoleh pendapatan pajak daerah sebesar Rp 1,3 triliun. Atas capaian tersebut, pegawai BPPD seharusnya berhak memperoleh insentif. Akan tetapi, insentif yang seharusnya mereka terima, secara sepihak dipotong, yang dimana disebutkan, pemotongan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Kepala BPPD Sidoarjo, namun lebih dominan diperuntukkan bagi kebutuhan Bupati.
Kasus ini mencuat setelah OTT di Sidoarjo pada Januari 2024. Saat itu, tim KPK menangkap 11 orang yaitu Siska Wati (Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo), Agung Sugiarto, (suami Siska dan juga Kabag Pembangunan Setda Pemkab Sidoarjo), Robith Fuadi yang merupakan kakak ipar Bupati Sidoarjo, Aswin Reza Sumantri selaku asisten pribadi Bupati Sidoarjo.
Kemudian Rizqi Nourma Tanya (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Sintya Nur Afrianti (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Umi Laila (Pimpinan Cabang Bank Jatim), Heri Sumaeko (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Rahma Fitri (Fungsional BPPD Pemkab Sidoarjo) Tholib (Kepala Bidang BPPD Pemkab Sidoarjo), dan Nur Ramadan, anak Siska.
Tapi saat itu yang dijadikan tersangka baru Siska dan Ari saja. Sisanya dilepaskan oleh KPK. Bahkan Gus Muhdlor lolos dari OTT itu.
Tercatat, total uang yang dipotong Siska mencapai Rp 2,7 miliar untuk periode 2023 saja. Sedangkan laporan pemotongan yang diterima KPK sudah terjadi sejak 2021. KPK menemukan uang Rp 69,9 juta dari total Rp 2,7 miliar yang dikumpulkan dalam OTT tersebut.
Dari penelusuran KPK, Ari Suryono menyuruh Siska Wati mengalkulasi nominal dana insentif yang diterima para pegawai BPPD. Nantinya dana itu dipotong diduga diperuntukkan bagi kebutuhan Ari dan Gus Muhdlor. Besaran potongan yaitu 10% sampai dengan 30% sesuai dengan besaran insentif yang diterima.
KPK menduga Ari Suryono aktif mengatur pemberian potongan dana insentif kepada Muhdlor Ali. Pemberian itu diduga dilakukan lewat orang-orang kepercayaan Muhdlor Ali.