REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bentrok antara dua institusi penegak hukum kembali terjadi. Sejumlah personel Polisi Militer TNI AL (Pomal) Lantamal XIV/Sorong dengan anggota Brimob Polda Papua Barat Batalyon B Sorong pada Minggu (14/4) pagi sekitar pukul 09.30 WIT.
Bentrokan itu diduga kuat karena ada salah paham antara oknum anggota Brimob dan Pomal TNI AL di Pelabuhan Sorong, kemudian berdampak pada perkelahian antara sesama aparat. Akibatnya bentrokan itu, sejumlah personel kepolisian dan TNI AL mengalami luka-luka.
Dampak lain dari bentrokan itu, sejumlah fasilitas ikut dirusak, seperti Terminal Pelabuhan Laut Sorong, Polsek KP3 Laut, Pos Lantas Drive Thru Kuda Laut, dan dua Pos Pengamanan Idul Fitri Polresta Sorong Kota di Jalan Yos Sudarso, Kampung Baru.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, melihat bahwa konflik TNI dan Polri yang kerap terjadi tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya ego sektoral, dimana semangat dalam organisasi TNI dan Polri yang memiliki jiwa korsa (esprit de corps) yang mengedepankan kesatuan, kekompakan, dan kecintaan terhadap institusi dengan rela berkorban.
Implikasinya, kata dia, bentrok ini menjadi suatu keniscayaan yang tidak akan pernah hilang sepanjang keduanya lebih mengedepankan jiwa korsa dalam arti sempit tersebut. Semangat jiwa korsa seperti Tri Brata dan Catur Prasetya seharusnya dipahami sebagai semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dia mengungkapkan sejumlah sebab konflik-konflik yang terjadi antara TNI dan Polri selama ini. Pertama, dari sisi kebijakan yakni pengaturan tugas dan kewenangan yang bersinggungan.
Banyak aturan yang sebenarnya bertujuan untuk menggabungkan dua kekuatan besar ini dalam menghadapi persoalan tertentu, seperti pengamanan obyek vital, pencegahan dan pemberantasan terorisme, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di wilayah.
“Hal ini tentu berdampak pada penyediaan sumber daya yang tentu seperti terjadi sebuah “persaingan” atau kompetisi,” kata dia.
Gesekan kewenangan dan fungsi ini, kata dia, memang menjadi jawaban kekurangan sumber daya di beberapa sektor atau wilayah, tetapi menjadi sebuah paradoks karena berdampak pada kebersinggungan keduanya di lapangan dan tak heran berbuntut panjang seperti terjadinya konflik dengan kekerasan.
Selanjutnya, kata dia, terkait dengan tindakan pengawasan dan penegakan aturan. Pelaksanaan sistem pengawasan yang melekat dengan menerapkan prinsip reward and punishment atau meritokrasi yang telah diatur, seharusnya sudah dapat diberlakukan secara konsisten sehingga dapat mencegah dan menimbulkan efek jera.