Senin 01 Apr 2024 22:51 WIB

Masyarakat Punya Peran Besar untuk Penanganan Masalah Iklim dan Lingkungan

Setiap orang memiliki ekosistemnya sendiri yang harus dirawat.

Koaksi Indonesia bersama Humanis dan beberapa Koalisi menggelar diskusi forum masyarakat sipil .
Foto: Dok Republika
Koaksi Indonesia bersama Humanis dan beberapa Koalisi menggelar diskusi forum masyarakat sipil .

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - - Koaksi Indonesia bersama Humanis dan beberapa Koalisi menggelar diskusi forum masyarakat sipil menyambut peluncuran film “Climate Witness” bertajuk Ekspresi Aksi Iklim Bersama Masyarakat Urban di Jakarta, Selasa (26/3/2024).

Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, menjelaskan Koaksi Indonesia sudah dua kali memproduksi film “Climate Witness”, keduanya mengisahkan aksi iklim lokal di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Proses pembuatan film ini menurut Verena, Humanis bertindak sebagai produser eksekutif, sementara Koaksi Indonesia sebagai produser pelaksana. Film ini juga didukung oleh Koalisi Sipil, Koalisi Adaptasi, Koalisi Kopi, serta Koalisi Pangan Baik.

Baca Juga

“Tahun lalu, film ini diputar di 40 titik seluruh Indonesia, “Climate Witness” berbasis aksi iklim lokal, yang akhirnya menjadi pemantik untuk kampanye bersama,” jelas Verena.

Acara yang digelar di bilangan Semanggi ini turut mengundang empat narasumber di antaranya Vera Nofita, Ketua Bank Sampah Gunung Emas; Muhammad Maulana Malikul Ikram, Direktur Riset dan Pengembangan PT Biops Agrotekno Indonesia; Syifa Fauziyyah, Sustainability Manager Teens Go Green Indonesia; serta Ridwan Arif, Koordinator Program VCA Koalisi Sipil, Koaksi Indonesia.

Membuka diskusi, Ridwan Arif menjelaskan Program VCA (Voices for just Climate Action) terdapat di 7 negara, yaitu Bolivia, Paraguai, Brazil, Tunisia, Kenya, Zambia, serta Indonesia, dan Koaksi Indonesia tergabung dalam aliansi ini dengan diketuai oleh Yayasan Humanis.

Ridwan menjelaskan VCA memiliki beberapa program berupa pengembangan kapasitas, membangun narasi bersama, dan memperkuat masyarakat sipil untuk memengaruhi kebijakan.

Ridwan menyampaikan film “Climate Witness” akan disebarluaskan tidak hanya di NTT, tetapi di wilayah-wilayah lain di Indonesia.

“Harapannya kisah-kisah ini dapat membangkitkan semangat nasional dari tingkat tapak. Film ini jadi pemantik semangat wilayah lain di Indonesia, kita kemas untuk bahan advokasi kebijakan terkait iklim di tingkat lokal dan nasional,” ujar Ridwan.

Ridwan mengatakan masyarakat mempunyai peran besar terkait permasalahan iklim dan lingkungan, sebab setiap orang memiliki ekosistemnya sendiri yang harus dirawat. Urban dan rural berbeda, dampaknya pun berbeda-beda.

Melengkapi semangat aksi iklim di NTT, Vera Nofita mengisahkan perjalanan Bank Sampah Gunung Emas, peraih penghargaan bank sampah terbaik nasional 2023 dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar.

Vera Nofita mengatakan Bank Sampah Gunung Emas sejak 2014 melakukan aksi iklim dengan mengedukasi masyarakat khususnya ibu rumah tangga untuk peduli lingkungan dengan memilah sampah.

Menurut Vera, pendekatan yang dilakukan mulai dari memberdayakan ibu rumah tangga di lingkup RT, RW, sekolah, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat.

“Awalnya, saya mengajak para perempuan, ibu rumah tangga, tidak bekerja, namun tetap bisa produktif dengan menghasilkan uang dari sampah. Sebagian besar golongan berpenghasilan Rp50 ribu per minggu, saya dorong mereka untuk bisa menabung, menabung sampah,” ujar Vera.

Vera memaparkan tujuan aksinya adalah membuka pola pikir khususnya para perempuan, menurutnya untuk mengatur hidup maka kelolalah sampah.

“Penghasilan mitra bank sampah ada yang mencapai Rp2 juta per bulan, mengenai aturan, pemerintah sudah hadir melalui beberapa kebijakan, peraturan tersebut bahkan spesifik mengatur pengelolaan dan pemilahan sampah rumah tangga,” kata Vera.

 

Mendekati waktu berbuka puasa, acara semakin hangat dengan kehadiran Syifa Fauziyyah yang membagikan semangat anak muda dalam aksi iklim yang dilakukan Teens Go Green Indonesia.

Syifa menyampaikan, organisasi anak muda yang berdiri pada 2007 ini awalnya diinisiasi oleh beberapa pihak, NGO dan pemerintah, bersama anak-anak SMA. 

"Anak-anak muda ini awalnya diajak untuk mengenal alam, baru masuk ke masalah-masalah terkait lingkungan, kita belajar untuk mencari solusi baru melakukan aksi langsung,” kata Syifa.

Kemudian, Syifa mengatakan untuk Jakarta saja, tiap wilayah punya permasalahan masing-masing, dia memberi contoh Jakarta Utara berpotensi mengalami banjir rob, di Jakarta Timur masalahnya berbeda lagi. 

“Meski begitu masalah utama adalah sampah, masalah pilah sampah sangat krusial dan berdampak pada terjadinya banjir,“ ujar Syifa.

Syifa menjelaskan beberapa tahun ke belakang, permasalahan yang diterima anak muda adalah stigma, menurutnya muncul pernyataan, “anak muda peduli apa sih?”, “anak muda bisa apa sih?”. Mendapati stigma tersebut justru memunculkan rasa ketidakpedulian pada diri anak muda. 

Syifa menambahkan anak muda punya cara yang berbeda menanggapi perubahan iklim, salah satu wujudnya dengan membuat video terkait isu lingkungan hasil interaksi langsung dengan masyarakat. 

“Kemampuan teknologi dan berjejaring itulah kekuatan yang dimiliki oleh anak muda dan Teens Go Green akan terus mendorong,” tutup Syifa.

Memperkaya diskusi, Muhammad Maulana Malikul Ikram memaparkan praktik baik Biops Agrotekno Indonesia dalam aksi iklim melalui konsep pertanian presisi.

Malikul menyampaikan Biops Agrotekno Indonesia ingin membawa era baru pertanian di Indonesia, bahwa menjadi petani itu keren.

“Saya melihat di Indonesia pertanian 3.0 aja belum, tapi pelan-pelan ke arah sana. Mengupayakan pertanian bisa jadi industri, para petani adalah pelaku bisnis. Bagaimana caranya mereka gak kerja hanya untuk makan, tapi berkembang lebih besar lagi. Semua butuh waktu, kita bergerak bersama, dengan teknologi petani tidak rugi, kami mengedukasi pola pikir investasi,” ujar Malikul.

Malikul kemudian memaparkan Biops sudah melakukan praktik baik di pesisir Pulau Semau, Kupang, menerapkan teknologi untuk membantu mendistribusikan air secara merata.

“Sementara di Wakatobi, kami menggunakan solar farm irrigation system, irigasi dengan bantuan cahaya matahari, karena di sana listrik cuma ada malam, siang matahari, sementara masyarakat butuh air untuk kebutuhan. Solar farm irrigation system membuat hidup jadi lebih mudah, setelah itu mereka tumbuh, jumlah petani semakin banyak, lahan meluas, dan komoditi bertambah,” kata Malikul.

Acara berlanjut dengan partisipasi tamu undangan merespons beberapa praktik baik terkait iklim yang disampaikan narasumber. Speak Indonesia, mengajak salah satu mitranya, Ibu Rohaniah dari Federasi Perempuan yang aktif melakukan kampanye di pasar, sekolah, dan di lingkup RT/RW.

“Saya tinggal di Sukapura, Cilincing, rumah di pinggir kali, keseharian saya sampah, begitu bertemu Speak Indonesia, mereka mengarahkan kami supaya berguna, untuk diri sendiri terutama. Kami memunguti dan mengumpulkan sampah banner berukuran besar, kemudian dijahit dan dibuat jadi tas, ecobag. Gak cuma itu, di pasar kami mengajak ibu-ibu peduli kantong plastik. Di sekolah, kami mengedukasi adik-adik, tapi ternyata mereka lebih pintar, sudah menyadari pendidikan lingkungan,” ujar Rohaniah.  

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement