REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kerugian negara dalam kasus korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung mencapai Rp 271 triliun.
Namun angka tersebut masih sementara dan diyakini bakal lebih besar. Karena tim penyidikan Kejaksaan Agung (Kejakgung) bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguanan (BPKP) belum merampungkan penghitungan kerugian keuangan negara terkait kasus tersebut.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi menerangkan, Rp 271 triliun, adalah besaran kerugian negara dari kerusakan lingkungan dan ekologi dampak aktivitas penambangan timah ilegal sepanjang 2015-2023 di Provinsi Bangka Belitung yang saat ini menjadi objek penyidikan.
Nilai tersebut, kata Kuntadi, dimasukkan ke dalam angka kerugian perekonomian negara saat penuntutan terhadap para tersangka nantinya.
“Ya itu (Rp 271 triliun) adalah kerugian dari dampak kerusakan lingkungan dari praktik pengelolaan (penambangan) timah ilegal di lokasi (IUP) milik PT Timah Tbk itu,” begitu kata Kuntadi, Senin (1/4/2024).
Adapun kerugian keuangan negaranya, Kuntadi mengatakan, timnya bersama BPKP akan segera mengumumkan. “Terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara, kami masih dalam proses. Formulasinya masih dirumuskan dengan baik bersama tim dari BPKP, dan ahli-ahli lainnya. Hasilnya seperti apa, nanti pasti kami umumkan. Yang jelas, dari penghitungan yang dilakukan ahli-ahli lingkungan, sudah kami disampaikan (Rp 271 triliun),” ujar Kuntadi.
Penyidik Jampidsus-Kejakgung menggandeng tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) sebagai para ahli dalam penghitungan kerugian perekonomian negara dari dampak kerusakan lingkungan dan ekologi yang dimunculkan akibat korupsi penambangan timah PT Timah Tbk sepanjang 2015-2023.
Profesor Bambang Hero Suharjo selaku guru besar perlindungan hutan, dan ahli lingkungan hidup merupakan salah-satu anggota tim yang melakukan penghitungan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah tersebut.
Bambang menjelaskan, wilayah penghitungan kerusakan lingkungan berada di tujuh titik kawasan eksplorasi penambangan bijih timah di lokasi milik PT Timah Tbk di Bangka Belitung. Kata dia, dari penghitungannya tercatat 170,36 ribu Hektare (Ha) galian.
Cakupan luas galian penambangan tersebut terdiri dari 75,34 ribu Ha galian di kawasan hutan, dan 95,01 ribu Ha galian di kawasan nonhutan. Dari total luas galian tersebut, kata Bambang terverifikasi hanya 88,90 ribu Ha yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP).
“Selebihnya galian seluas 81.462,602 hektare tidak memiliki IUP atau non-IUP,” kata Bambang, Senin (19/2/2024).
Bambang melanjutkan, dari pemantauan berdasarkan satelit, dan hasil tinjauan langsung di lapangan, pun diketahui pembukaan kawasan pertambangan timah di wilayah daratan, dan laut mencapai 915,85 ribu Ha.
Pembukaan kawasan pertambangan itu, terbagi seluas 349,65 ribu Ha di wilayah daratan, dan 566,20 ribu Ha pembukaan pertambangan di areal laut-perairan.
“Dan dari 349.653,574 hektare pertambangan yang berada di kawasan darat tersebut, 123.012,010 hektare di antaranya berada di dalam kawasan hutan lindung,” begitu terang Bambang.
Dari penghitungan timnya, kata Bambang, kerusakan lingkungan atau ekologi dari dampak eksplorasi timah tersebut, terbagi ke dalam tiga klaster. Pertama terkait dengan kerugian lingkungan atau ekologis sebesar Rp 183,70 triliun.
Klaster kedua dalam kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,47 triliun. Terakhir terkait dengan kerugian dalam kewajiban pemulihan lingkungan senilai Rp 12,15 triliun. “Sehingga total kerugian negara dari kerusakan lingkungan hidup setotal Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun),” begitu kata Bambang.