REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan presiden dan wapres terpilih Prabowo-Gibran berkomitmen untuk merealisasikan program makan siang gratis. Namun rencana realisasi itu bukan tanpa kritikan.
Dalam diskusi publik “Salah Arah Kebijakan Makan Siang Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di kawasan Cikini Jakarta Pusat, Jumat (22/3). Direktur Eksekutif Next Policy, Grady Nagara, menyatakan terdapat kekeliruan yang mendasar dalam rencana kebijakan tersebut.
“Ada kekeliruan yang sangat mendasar dalam rencana kebijakan makan siang gratis Prabowo-Gibran. Secara teknokratis, rencana kebijakan tersebut masih sangat prematur karena minimnya riset dan keterlibatan para pakar,”ujar Grady dalam keterangan tertulis.
Grady menyoroti rencana kebijakan itu berpotensi pada impor pangan skala besar dan melemahkan ketahanan pangan Indonesia. “Ketahanan pangan kita itu lemah. Bayangkan komposisi makan siang gratis bergantung pada komoditas seperti beras, daging, dan susu yang selama ini masih impor. Paling tidak untuk menyasar 82,9 juta penerima manfaat, per tahunnya butuh 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, sampai 4 juta kiloliter susu”, ungkap Grady.
“Ya itu, potensi impor besar-besaran bisa terjadi jika desain kebijakan tidak mempertimbangkan dimensi diversifikasi pangan," ujarnya.
Di Brazil, misalnya, anggaran makan siang gratis di sana mewajibkan 30% mengambil pasokan dari petani lokal. "Kita kan tidak terlihat akan seperti itu. Yang ada, potensi impor skala besar justru bisa mematikan para petani kita yang kebanyakan tidak memiliki lahannya sendiri”, lanjut Grady.
Senada dengan itu, peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Shofie Azzahrah menyoroti beban fiskal yang sangat besar jika kebijakan ini dipaksakan melalui skema APBN.
“Anggaran makan siang gratis mencapai maksimal 450 triliun per tahun. Angka ini bahkan melampaui anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang nilainya hanya 114,3 dan 187,5 triliun rupiah”, kata Shofie.
“Dalam hitungan kami, program makan siang gratis akan menambah defisit anggaran sebesar 797 triliun. Angka defisit ini sendiri sudah ada di rasio defisit APBN terhadap GDP sebesar 3,81%. Tanpa skenario pembiayaan berkelanjutan, ini sangat berbahaya bagi kesehatan fiskal ke depan yang akan merugikan publik”, lanjut Shofie.
Stunting
Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Clarissa Magdalena, mengatakan bahwa program makan siang gratis ini masih belum jelas.
“Program makan siang gratis ini memang masih sangat simpang siur. Bagaimana ekosistemnya dibentuk? Apakah sudah memenuhi standar gizi memadai? Bagaimana program ini diposisikan dalam sistem kesehatan nasional?”
Clarissa juga mengatakan bahwa program makan siang gratis belum cukup untuk bisa dikatakan efektif mengatasi stunting.
“Yang kita perlukan adalah evaluasi terhadap sistem dan tata kelola kesehatan. Stunting itu adalah masalah kompleks yang harus dievaluasi dengan melihat secara keseluruhan tata kelola kesehatan, dan tidak cukup hanya dengan menggunakan program tunggal seperti program makan siang gratis”, pungkas Clarissa.
“Masyarakat sipil saat ini harus mengawasi dan memberikan masukan dengan ketat. Mumpung program ini masih belum keluar sebagai kebijakan teknis”, tutup Clarissa.