REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kantor Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek menyesalkan dugaan kasus pencabulan santriwati oleh pengasuh salah satu pondok pesantren di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan pengasuh Ponpes berinisial M (72 tahun) dan putranya F (37) sebagai tersangka.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek, Mohammad Nur Ibadi menjelaskan, pondok pesantren tersebut telah memiliki izin operasional pendirian madrasah (Izop). Izin operasional tersebut dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag.
"Pondok pesantren tersebut memiliki lima Izop, yaitu Izop pondok pesantren, SMK, Madrasah Aliyah, SMP, dan Madrasah Diniyah," kata Ibadi, Selasa (19/3/2024).
Ibadi menegaskan, ketika sudah memiliki Izop, artinya pesantren tersebut telah memenuhi lima rukun sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Lima rukun yang harus dipenuhi di antaranya memiliki kiai yang sanad ilmunya jelas dan mukim di Ponpes tersebut.
Kemudian, memiliki santri minimal 15 orang, memiliki masjid, memiliki asrama, dan pengajian kitab kuning. "Karena sudah sesuai dengan Arkanul Mahad-nya (memenuhi lima rukun) jadi Izop-nya pun diterbitkan," ujar Ibadi.
Ibadi melanjutkan, meskipun setalah adanya dugaan kasus pencabulan tersebut, Kemenag tidak begitu saja bisa langsung mencabut izin operasionalnya. Untuk melakukan pencabutan izin, kata dia, harus ditentukan memalui rapat lintas sektoral yang melibatkan Polres Trenggalek, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dinas Pendidikan.
"Misalnya rekomendasinya paling ekstrem pencabutan Izop, maka nanti akan kami buatkan berita acara kami bersurat ke Dirjen Pendis (Kemenag)" ucapnya.
Dalam kasus tersebut, Polres Trenggalek telah menetapkan dua orang tersangka. Yaitu pengasuh pondok pesantren berinisial M (72) dan putranya berinisial F (37). Terhadap kedua tersangka pun telah dilakukan penahanan.
Kapolres Trenggalek, AKBP Gathut Bowo Supriyono mengatakan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari lima orang saksi dalam kasus tersebut. Sementara korban yang bersedia buka suara dan memberikan keterangan sudah 10 orang.
"Kemungkinan penambahan korban bisa terjadi karena masih ada pemeriksaan saksi lagi siapa-siapa saja yang menjadi korban, karena tidak semuanya mau bercerita," kata dia.