Selasa 12 Mar 2024 12:48 WIB

Pakar: Hak Angket Pemilu tak Perlu Tunggu Pengumuman Hasil Pemilu

Sebanyak 50 tokoh masyarakat menyurati lima ketum parpol dorong hak angket DPR.

Rep: Eva Rianti/ Red: Erik Purnama Putra
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengikuti Aksi Kamisan ke-805 di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengikuti Aksi Kamisan ke-805 di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 50 tokoh masyarakat mendesak ketua umum lima partai politik (parpol) untuk segera melakukan hak angket Pemilu 2024 di DPR RI. Hak konstitusional tersebut bisa diajukan tanpa perlu menunggu pengumuman hasil pemenang Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijadwalkan paling lambat 20 Maret 2024.

"Enggak perlu nunggu tanggal 20 Maret karena kan hak angket bukan pilihan atas perselisihan hasil pemilihan umum di MK. Kalau kita lihat bahasa konstitusinya kan kalau yang di MK memang perselisihan hasil pemilu makanya harus menunggu hasil setelah 20 Maret," kata pakar hukum Bivitri Susanti kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (11/3/2024).

Baca Juga

 

Bivitri yang masuk 50 tokoh masyarakat itu menjelaskan, hak angket, berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 20A memang merupakan hak DPR RI untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Mengutip Pasal 79 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang diawasi oleh DPR RI adalah kebijakan pemerintah.

"Jadi yang akan disoroti adalah kebijakan yang kalau dalam konteks kepemiluan seringkali dinamai terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," tutur Bivitri.

Dia pun mencontohkan, tindakan masif pembagian bantuan sosial (bansos) atau pengerahan aparat, kepala daerah, atau kepala desa untuk memenangkan paslon tertentu merupakan TSM, yang bisa diselidiki anggota dewan. Temuan seperti itu asih bersifat dugaan kecurangan, sehingga tidak memiliki kaitan dengan hasil Pemilu 2024.

Menurut Bivitri, berbagai temuan itu tidak harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan bisa dituntaskan lewat hak angket DPR RI. "Jadi forum yang tepat memang di DPR jadi forumnya politik bukan forum hukum seperti di MK," ujarnya.

"Forum politik untuk memperjelas apakah dugaan itu benar adanya, jadi enggak usah nunggu tanggal 20 Maret sebenarnya karena nanti yang dibongkar oleh panitia angket itu bukan hasil yang nanti dikeluarin tanggal 20 tapi kebijakan yang dari sekarang sudah bisa kita analisis," jelas Bivitri menambahkan.

Hingga saat ini, lima parpol parpol yang menyuarakan hak angket kecurangan Pemilu 2024 belum mengambil langkah konkret. Sejumlah pihak telah mendesak parpol, khususnya Partai Nasdem, PKB, dan PKS yang tergabung dalam Koalisi Perubahan. Juga, partai pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yakni PDIP dan PPP.

Baca: Prabowo Kalahkan Anies di Jakarta, Berikut Perincian Angkanya

Adapun 50 tokoh masyarakat dari berbagai kalangan telah melayangkan surat kepada ketua umum masing-masing parpol pada 9 Maret 2024. Mereka yang diberi surat adalah Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PKS Ahmad Syaikhu, dan Plt Ketum PPP M Mardiono.

Selain Bivitri, daftar tokoh tersebut adalah Usman Hamid, Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, Dandhy Laksono, dan Haris Azhar. Ada pula tokoh yang pernah menjabat di KPK, seperti Novel Baswedan, Abraham Samad, Abdullah Hehamahua, dan Saut Situmorang. Selain itu juga kalangan seniman, seperti komika Pandji Pragiwaksono.

Dalam surat yang diperoleh Republika.co.id, dikemukakan di dalamnya bahwa ada berbagai peristiwa dan fakta yang mengonfirmasi proses pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu 2024. Termasuk, secara gamblang disebut terjadinya praktik kecurangan dalam Pemilu 2024.

"Di dalam pantauan kami, dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu yang dipersoalkan oleh masyarakat, terjadi bukan hanya pada saat hari pencoblosan, 14 Februari 2024, tetapi juga sejak awal proses penyelenggaraan pemilu hingga pasca pelaksanaan proses perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aparatur kekuasaan lainnya," bunyi surat tersebut.

Mekanisme konstitusional...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement