REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (Wasekjen PKB) Syaiful Huda berpendapat bahwa penghapusan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4 persen tidak tepat. Menurutnya, angka PT mestinya lebih tinggi dari itu untuk menghindari praktek pragmatisme politik.
"Saya menolak keras 0 persen parliamentary threshold, itu artinya memberi ruang terjadinya pragmatisme yang semakin masif tahun 2029," kata Huda di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Senin (4/3/2024).
Ia menuturkan, praktek pragmatisme itu bisa dilihat dari mudahnya pemodal untuk membentuk partai politik. Padahal secara politis tidak memiliki kapasitas dan rekam jejak yang cukup untuk melenggang di kursi parlemen.
"Karena kan orang punya modal bisa bikin parpol, creat parpol disukai publik, tambahin bumbu-bumbu duit, jadi partai terpilih. Kita tidak ingin partai berbasis pragmatisme," jelasnya.
Huda pun mengaku tidak setuju jika partai-partai kecil dengan mudahnya masuk ke Senayan. Hal itu bahkan dianggapnya sebagai cara yang liberal.
"Saya enggak setuju, itu lompatan yang jumping politiknya, bahaya, liberal menurut saya. Bahaya bagi penguatan politik kita," ujar dia.
Lebih lanjut, Huda berpendapat persentase PT semestinya justru lebih tinggi dari 4 persen. Secara gamblang, menurutnya, angka PT lebih baik dinaikkan menjadi 7 persen.
"Ini agenda PKB dari dulu. PT itu malah harus dinaikkan. Pemilu 2024 ini PKB usulkan 7 persen. Kenapa? Supaya terjadi proses pelembagaan politik supaya lebih stabil dan produktif," ungkapnya.
Huda menyebut, jika kondisinya seperti ini, maka politik Indonesia menjadi tidak produktif. Jumlah partai yang terlalu banyak di parlemen akan membuat perpolitikan menjadi tidak kondusif.
"Kenapa 7 persen? Karena kami rasa partai di Indonesia ini cukup lah, secara ideologis ya ada beberapa kekuatan, ada kekuatan yang berbasis kekayaan, berbasis nasionalisme, berbasis agama, seperti PKB ini, partai yang berbasis agama dan nasionalisme cukup diwakili oleh kelompok ini," tuturnya.
Sebelumnya diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem mengenai ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring.
MK memutuskan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa ‘partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR’.
Perludem ingin norma pada pasal tersebut diganti menjadi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan: a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam pasal tersebut.
Saldi juga menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional.
Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
“Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.
Sementara itu, rekomendasi norma yang diajukan oleh Perludem dalam petitum, tidak dapat dikabulkan oleh MK karena hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan lebih lanjut. Eva Rianti