REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyampaikan, anomali cuaca akibat perubahan iklim menjadi penyebab terjadinya tornado pertama di Indonesia. Dia menjelaskan, ada peningkatan suhu di sekitar lokasi ketika fenomena ekstrem itu terjadi, yang menyebabkan konvergensi udara berskala besar.
“Iya jelas anomali panas yang tiba-tiba begitu kan bagaimana bisa menceritakan kalau bukan karena di-trigger oleh perubahan iklim,” ungkap Erma kepada Republika, Kamis (22/2/2024).
Erma menjelaskan, tornado di Rancaekek, Jawa Barat, itu terjadi setelah adanya konvergensi akibat anomali panas atau peningkatan suhu yang tidak biasa. Berdasarkan data yang dia dapatkan, dari yang sebelumnya suhu di area tersebut ada di angka 27 derajat celcius berubah menjadi 34 celcius. Hal itulah yang kemudian menyebabkan konvergensi udara.
“Ada peningkatan suhu yang kita bisa katakan itu tinggi banget. Dari tadinya suhunya 27 derajat celcius, berubah jadi 34 derajat celcius. Anda bayangkan, berarti kan ada anomali panas di wilayah tersebut yang menciptakan tadi, meso konvergensi,” terang dia.
Dia menyebut angin kencang yang terjadi di Rancaekek sebagai tornado karena melihat bukti-bukti berdasarkan dokumentasi publik. Menurut dia, yang bukti paling jelas ada pada skala meso yang lebih dari 2 km, yang membuat lima kecamatan terdampak oleh fenomena tersebut.
“Yang penting ini udah masuk skala meso. Kalau skalanya mikro, baru bukan tornado. Tornado itu skala meso, meso itu di atas 2 km, itu saja. Nah kalau lima kecamatan terdampak, masa itu skala mikro?” jelas Erma.
Dia menjelaskan, untuk melihat fenomena itu, ada dua jenis dokumentasi yang sangat berhargap dalam riset, yakni dokumentasi publik dan dokumentasi saintifik. Saat ini, kata dia, dokumentasi publik sudah bisa didapatkan berdasrakan foto-foto dan video yang diunggah oleh publik di media sosial dan juga berita media massa.
“Dokumentasi visual dan publik itu sudah kita dapatkan, termasuk dampak itu dokumentasi paling berharga dalam riset. Kita akan rekonstruksi dari dampak-dampak itu kan. Dokumentasi saintifik itu butuh simulasi, itu belum kita lakukan,” terang dia.
Dia mengungkapkan, pergerakan awan tornado di Rancaekek terdeteksi di citra satelit awan Himawari. Menurut dia, satelit tersebut mendeteksi keberadaan awan tersebut dari yang sebelumnya ada, kemudian muncul, hingga muncul pusaran. Pusaran semacam itu tidak akan ada apabila awan itu hanya awan biasa.
“Itu muncul, muter. Kalau dia hanya awan biasa, nggak ada pusarannya, berarti itu microscale gitu kan. Skala micro kita biasanya sebut dust devil, angin setan kalau di luar negeri misalnya,” tutur dia.
Baca juga : Perhitungan Sementara Kalah dari Prabowo di Jakarta, Ini Respons Anies
Dia menerangkan, suatu fenomena angin kencang dapat dikatakan tornado apabila memenuhi sejumlah kriteria. Pertama, kecepatan angin maksimumnya harus mencapai minimal 67 km/jam atau 8 skala 'beaufort'-nya, skala untuk mengukur kecepatan angin. “Kemudian yang kedua radiusnya, radius putarnya kan harus lebih dari 2 km sehingga fenomena itu kita anggap fenomena yang meso. Tornado itu fenomena meso, karena lebih dari 2 km,” jelas Erma.
Mirip dengan Tornado AS
Lewat kicauan di Twitter, Erma melihat struktur tornado di Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara, Amerika Serikat memiliki kemiripan 99,99%. "Alias mirip bingits!" kicaunya, Kamis (22/2/2024)/.
Beda efek tornado dan puting beliung ...