Rabu 21 Feb 2024 07:45 WIB

Mengapa KPU Kini Irit Bicara Soal Sirekap yang Disebut Mahfud Amburadul?

KPU enggan menjelaskan mengapa petugas KPPS tidak boleh melakukan koreksi di Sirekap.

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tanah Abang menata kotak suara untuk melakukan rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara secara manual tingkat Kecamatan di GOR Tanah Abang, Jakarta, Senin (19/2/2024).  Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan sementara Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dan akan melakukan akurasi atau sinkronisasi data numerik tampilan publik di laman pemilu2024.kpu.go.id dengan data otentik yang ada dalam foto formulir model C.
Foto:

Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat, Jaga Pemilu mengatakan, persoalan salah input dalam aplikasi Sirekap milik KPU menjadi pelanggaran tertinggi yang diperoleh pada H-1 hingga H+3 hari pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu. Jaga Pemilu juga mencatat, pelanggaran tertinggi berikutnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan para petugas KPPS di lapangan.

 

"Sejak Orde Baru berakhir, ini adalah pemilu keenam yang kita lakukan. Sangat disayangkan bahwa sudah enam kali berturut-turut kita melakukan pemilu, berbagai kecurangan atau kesalahan yang terjadi, termasuk kesalahan administratif seperti dua hal tertinggi tersebut, belum bisa diminimalisir," kata Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu Luky Djani akhir pekan lalu.

Luky menjelaskan, kedua pelanggaran itu diperoleh dari pantauan yang Jaga Pemilu lakukan di hampir 7.000 tempat pemungutan suara (TPS) di lapangan, baik oleh penjaga pemilu yang teregistrasi, maupun dari masyarakat umum. Keduanya berbeda dari isu pelanggaran tertinggi sebelum hari H yang didominasi oleh ketidaknetralan aparat. 

"Selain salah input Sirekap dan kesalahan administrasi tata cara pemilu, juga ada persoalan netralitas penyelenggara, politik uang di H-1 sampai menjelang pencoblosan atau yang dikenal sebagai serangan fajar. Juga ada pelanggaran terkait dengan Daftar Pemilih Tetap. Misalnya, ada nama di daftar tapi tidak menerima surat panggilan, atau sebaliknya, ada anggota keluarga yang sudah wafat tapi menerima surat panggilan," jelasnya. 

Luky melanjutkan, menurutnya Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi hingga saat ini di pasca-reformasi. 

Pendiri JagaSuara2024 Hadar Gumay mengatakan, kesalahan penginputan data di Sirekap tidak bisa dianggap enteng. Ini karena data rekapitulasi yang secara manual akan dilakukan bertahap sesungguhnya bertumpu pada bahan awal dari aplikasi Sirekap.

Sehingga data Sirekap harus benar-benar jujur mencerminkan perolehan hasil dari TPS. "Jadi kalau bahan awalnya kotor, maka rekap manualnya pun akan tidak bersih," tuturnya.

Hadar mengutip temuan organisasinya yang mengambil 5.000 sampel data Sirekap yang tersebar di 1.172 kelurahan yang dipilih secara acak dan tersebar di 494 kabupaten/kota.

Dari sampel sebanyak itu, ditemukan 2,66 persen kesalahan suara sah tidak sama dengan jumlah suara paslon, 0,88 persen suara sah tidak sesuai dengan foto C hasil, dan 1,96 persen satu atau lebih suara paslon tidak sesuai dengan foto C hasil.

"Ada kemungkinan di antara sampel ada kesalahan yang telah diperbaiki sebelum diunduh, sehingga tingkat kesalahan sebenarnya lebih tinggi. Sirekap sesungguhnya alat bantu yang sangat penting, tapi sebagaimana alat, ia bisa direkayasa, sehingga harus diperhatikan dan diawasi betul," ungkap Hadar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement