REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan alat bantu Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) untuk penghitungan suara pada pemilihan umum (pemilu) 2024. Namun, penggunaan Sirekap ramai disorot banyak pihak.
Salah satu masalah yang disorot adalah ketidaksesuaian hasil pembacaan Sirekap dengan perolehan suara di C hasil yang diunggah. Hal itu tak hanya terjadi di satu-dua tempat pemungutan suara (TPS), melainkan ribuan TPS.
Dalam konferensi pers yang digelar di Media Center KPU pada Kamis (15/2/2024), Ketua KPU Hasyim Asy'ari ditanya mengenai anggaran untuk Sirekap. Namun, Hasyim enggan menjawabnya.
"Nggak perlu sampai detail," kata dia, Kamis.
Ia menjelaskan, Sirekap itu bertugas menghimpun data dari seluruh TPS. Di setiap TPS, terdapat dua petugas KPPS yang memiliki akses untuk menginput data ke dalam aplikasi Sirekap.
"Kalau total biaya ya komponennya termasuk itu semua. Tetapi yang developer tentu saja hanya untuk pembangunan termasuk biaya dukungan termasuk server dan segala macamnya," kata Hasyim.
Sebelumnya, Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan penggunaan Sirekap sudah dilakukan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Karena dinilai membuahkan hasil positif, KPU melanjutkan penggunaan Sirekap untuk pemilu 2024, alih-alih menggunakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) untuk pemilu 2019.
"Embrionya sudah ada di 2020, pilkada 2020 menggunakan Sirekap jadi dan itu langsung memotret C1 plano. Karena punya pengalaman yang baik kita lanjutkan untuk Pemilu 2024," kata Betty.