Jumat 09 Feb 2024 22:49 WIB

Problem Etika Jokowi Disorot Secara Khusus pada Pemilu 2024

Pemimpin berkewajiban mendengarkan kritikan rakyat.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa aturan terkait kampanye telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Foto: Dok Setneg
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa aturan terkait kampanye telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan demokrasi seolah dilakukan secara terencana oleh para elite politik yang berkuasa, khususnya oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Penilaian tersebut datang dari berbagai sumber yang kredibel, baik dari luar maupun dalam negeri.

"Saya sepakat saat ini ada problem etika di negara kita secara khusus di Pemilu 2024, terutama sejak adanya putusan MK yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas dalam webinar bertema 'Pilpres Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?' di Jakarta, Jumat (9/2/2024).

Melihat kondisi demokrasi Indonesia saat ini, Sirojudin menjadi ingat kalimat filsuf Albert Camus (1913-1960), yang mengatakan, seorang pemimpin tanpa etika itu sama saja seperti melepaskan binatang buas ke rakyatnya. "Saya sangat khawatir, pelanggaran etik MK dan KPU,  yang lalu ini disetujui presiden. Jika itu benar, maka kita sebetulnya sedang melepaskan binatang buas untuk memangsa bangsa sendiri."

Sirojudin menilai, jika itu dilakukan,  yang muncul adalah kekacauan, kebinasaan, dan kerusakan luar biasa. "Oleh karena itu, kalau kita belajar dari Camus, kita bisa prediksi risiko paling buruk, yaitu memunculkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan rakyat, tentu saja presiden bisa keluarkan dekrit bahwa pemilu itu sah," ujarnya.

Menurut Sirojudin, ada risiko hasil pemilu tidak diterima masyarakat dalam waktu atau tempo yang sulit diprediksi. Secara sosial, lanjut Sirojudin, problem tersebut masih ada di tataran elite. Gerakan guru besar di berbagai universitas akhir-akhir ini menjadi bukti, seakan ada konsensus di kaum terdidik atau cendekiawan bahwa Indonesia dalam masa bahaya.

Sirojudin menambahkan, masyarakat terbuai oleh kebaikan Presiden Jokowi lewat bansos, sehingga mayoritas masyarakat pun masih puas dengan kinerja Jokowi. Tingkat kesadaran mereka masih rendah soal etika, dan masalah-masalah ikutan lainnya. Jika kalangan menengah berusaha keras dan bergerak, lanjut Sirojudin, masyarakat luas akan turut menyuarakan perlawanan.

Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud mengatakan, pegangan berbangsa dan bernegara adalah hukum. Jika tidak, kata dia, negara akan kocar-kacir dan semrawut. "Lebih memprihatinkan, yang buat kocar kacir tersebut adalah hukum dipisahkan dari ahklak, etika," ucapnya.

Marsudi mengatakan, mengingatkan pemimpin menjadi kewajiban seorang Muslim, sedangkan pemimpin berkewajiban mendengarkan kritikan rakyat. Marsudi menyebut, sudah disepakati bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam Islam, berbangsa dan bernegara bisa berjalan jika empat hal bisa dipastikan. 

Pertama, negara, bangsa, dan pemerintahan ini diatur dengan cara musyawarah. Kedua, harus menjunjung kemaslahatan pribadi atau individu. Ketiga, memilih presiden atau pemimpin hukumnya wajib. Kempat, bagaimana bangsa Indonesia yang berbeda-beda mampu bersama-sama tolong menolong dan gotong royong untuk memastikan pemilu berjalan dengan baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement