REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadili sekitar 93 pegawai yang diduga terlibat skandal pungutan liar di rumah tahanan (Rutan) KPK. Sosiolog Universitas Airpangga (Unair) Ari Wibowo mengatakan, pungutan liar adalah fenomena yang telah lama ada di berbagai Rutan.
"Pungutan liar ini adalah bentuk intimidasi. Ketidakmampuan tahanan karena keterbatasan fasilitas, penutupan akses, menjadi hal yang membuat mereka bisa melakukan apa saja untuk dapat menikmatinya. Pungutan liar ini kemudian menjadi salah satunya," kata Ari, Selasa (30/1/2024).
Ari melanjutkan, pungutan liar yang terjadi di Rutan KPK tentu saja menjadi hal yang sangat riskan, karena meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Padahal, KPK adalah rumah yang seharusnya melakukan pemberantasan terhadap rasuah, namun korupsi justru terjadi di dalamnya.
"Hal ini terjadi semakin kuat semenjak kepemimpinan Firly. Sebetulnya hal ini bisa dilihat secara terang, bagaimana Firly menjadi tersangka. Maka tidak perlu kita membicarakan bawahannya yang tidak terlihat. Secara riil saja karena pasti korupsi itu dilakukan secara kolektif," ujarnya.
Ia menegaskan, belum pernah ada kejadian semacam ini sepanjang sejarah KPK. Maka diperlukan perubahan mendasar dimulai dari Undang-Undang.
"Saat ini Undang-Undang KPK berada di bawah presiden, sehingga kasus yang berada di KPK harus sesuai kehendak presiden. Apakah akan diteruskan, diperjelas, diselesaikan, ataukah dilepas dan dibiarkan," ucapnya.
Ari berpendapat, seharusnya struktur KPK diubah menjadi independen kembali. Apalagi saat ini berdasarkan survei, masyarakat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap KPK.
"Sudah tidak ada cara lagi selain merombak Undang-Undang, merombak pemimpin, menggantinya dengan yang baru. Perlu penggalian lebih mendalam, desakan oleh masyarakat atau ultimatum tokoh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat demi kebaikan dan keberlangsungan masa depan KPK itu," ucapnya.